Salin Artikel

Lika-liku Tionghoa Dianggap Minoritas di Indonesia

TIONGHOA atau—vulgarnya—orang China jamak dianggap sebagai salah satu kalangan minoritas di negeri ini. Benarkah sebutan minoritas bagi Tionghoa di Indonesia semata karena soal jumlah populasi?

Mendiang sejarawan Onghokham mengungkap, ada sebab yang lebih rumit dibanding semata jumlah populasi. Kisahnya juga harus ditarik jauh ke belakang, sebelum era kemerdekaan.

Salah satu kumpulan tulisannya, Riwayat Tionghoa Peranakan di Jawa, mengurai soal pelabelan minoritas Tionghoa ini dalam satu bab tersendiri, dengan bab lain menopang kelindan duduk perkaranya.

Riset terkini mendapati juga bahwa sejatinya nyaris tidak ada "darah murni" Indonesia bila ditelisik dari genetika. Dari sekian komponen genetika orang Indonesia, ada jejak darah leluhur Tionghoa mengalir deras di dalamnya.

Ahmad Arif dalam tulisan berjudul "Besse" Menyingkap Jejak Leluhur yang tayang di harian Kompas edisi 28 Agustus 2021 menulis, sejauh ini fosil manusia paling tua yang berhasil diurutkan genetikanya di Indonesia diambil dari situs Loyang Ujung Karang, Aceh Tengah.

Genetika fosil berumur 2.000 tahun itu diurutkan oleh ahli genetika dari St John’s College, University of Cambridge, Eske Willerslev dan tim. Kajian genetika ini dilakukan simultan dengan 25 fosil manusia kuno yang lain di Asia Tenggara dan hasilnya terbit di Jurnal Science pada 2018. 

Dari data genom fosil ini ditemukan bukti ada pembauran genetika antara pemburu-peramu dan petani di Asia Tenggara.

"Petani padi di Asia Tenggara bermigrasi dari China selatan, tepatnya lembah Sungai Yangtze dan Sungai Kuning, tempat awal domestifikasi padi dan jewawut, 9.000-5.500 tahun lalu, kemudian budidaya padi sawah sekitar 4.500 tahun lalu," tulis Arif.

Informasi DNA dari fosil kuno yang ditemukan di Aceh Tengah, yang hingga sebelum 10.000 tahun lalu menjadi bagian dari dataran Eurasia ini penting untuk menggambarkan migrasi dan relasi manusia di bagian barat Indonesia.

Temuan dan kajian atas fosil Besse dari situs Leang Panninge, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan, menggenapi bacaan tentang migrasi manusia di Indonesia berdasarkan jejak genetikanya.

Hasil kajian para arkeolog Universitas Hasanuddin dan tim internasional atas Besse ini dipublikasikan di jurnal Nature pada 25 Agustus 2021.

Mitos susah dilebur

Penelusuran genetika mendapati migrasi Tionghoa hingga ke Indonesia telah terjadi lama. Percampuran bahkan sudah terjadi hingga ke wilayah genetika.

Fakta ini mengusik pertanyaan mengapa kelanjutan migrasi manusia ini belakangan menjadi persoalan dan menghadirkan kotak-kotak pelabelan termasuk penyebutan minoritas bagi kalangan Tionghoa?

Onghokham menulis, salah satu yang mendasari label minoritas bagi Tionghoa di Indonesia adalah mitos suku bangsa ini tidak mungkin dilebur ke dalam masyarakat selain komunitasnya sendiri. 

Menurut Onghokham, mitos itu dibuat orang asing, terutama Barat, karena pengamatan yang keliru.

"Mereka hanya memperhatikan orang-orang Tionghoa yang baru berimigrasi ke negara itu. Tentu saja orang yang baru berimigrasi itu tidak bisa dilebur," tulis Onghokham.

Di Indonesia pun begitu. Para pengamat asing itu juga cenderung berhubungan dengan Tionghoa yang baru tiba, selama-lamanya paling baru satu atau dua generasi keluarganya berimingrasi dari Tiongkok. 

"Ini karena mereka (Tionghoa yang baru tiba) itulah yang lebih banyak mengusahakan toko-toko kecil. Mereka mempunya cara hidup dan mata pencaharian yang lain dengan yang sudah lama tinggal di Jawa," papar Onghokham.

Pemerintah kolonial Hindia-Belanda juga tak punya banyak catatan soal etnis Tionghoa, terutama sebelum 1928.
Salah satu salah kaprah yang dicatat Onghokham berlatar kedangkalan pengetahuan itu adalah keberadaan buku yang menyebut bahwa ucapan "kamsia" berarti "selamat pagi". Padahal, arti sesungguhnya adalah "terima kasih".

Tionghoa totok vs peranakan

Mitos etnis ini susah dilebur dibantah antara lain dari riset Dr GW Skinner di Thailand. Di negeri itu, misalnya, tak ada sebutan Tionghoa peranakan. 

Di Thailand, Tionghoa yang baru tiba dari China atau keluarganya baru maksimal dua generasi menetap disebut sebagai China totok. Bila keluarganya sudah lebih dari dua generasi tinggal di situ, mereka sudah melebur dengan warga setempat.

Sejatinya hal serupa terjadi juga di Indonesia. Pigeaud dalam Aantekeningen van de Oosthoek, sebut Onghokham, menyatakan bahwa tak sedikit kontribusi Tionghoa terhadap komposisi penduduk pesisir. 

Onghokham menyitir pula Dr Loe Ping Kian yang mengungkap bahwa banyak famili di Indonesia mempunya darah Tionghoa.

Dalam buku kumpulan tulisannya, Onghokham menggunakan penggolongan Tionghoa totok dan peranakan untuk memotret situasi di Indonesia. Tionghoa totok adalah mereka yang lahir di Tiongkok dan baru tiba di Indonesia.

Adapun Tionghoa peranakan, ungkap dia, bukan semata dari sisi biologis melainkan juga kebudayaan. 

"Di rumah, mereka memakai bahasa Melayu, Indonesia, Jawa, atau Sunda. Adat-istiadat mereka juga tidak 100 persen Tionghoa, tetapi mereka telah mengambil adat-istiadat penduduk setempat," ungkap Onghokham.

Onghokham mengutip pula tulisan Ong Taij Haij, Tionghoa yang merantau ke Jawa pada abad ke-18, yang mengatakan bahwa ketika orang Tionghoa telah tinggal selama beberapa keturunan di negara asing tanpa pernah kembali ke Tiongkok maka mereka dengan mudah sekali melepaskan diri dari ajaran dan tata cara Tiongkok.

"Dalam hal makanan dan pakaian mereka mengikuti penduduk asli dan membaca buku-buku asing. Mereka tidak berkeberatan untuk menjadi orang Jawa dan menamakan dirinya orang Islam," tulis dia.

Biang persoalan

Soal sebab Tionghoa hingga hari ini masih saja kerap dianggap minoritas berbeda— termasuk penyebutan Tionghoa peranakan—, Onghokham menyebut tatanan sosial dan politik sebagai biang. Motif ekonomi jadi penyebab turunan berikutnya.

Elite lokal yang tak lagi menjadi penguasa nyata, kata Onghokham, adalah salah satu sebab utama. Sementara, manusia pada umumnya menolak untuk turun jenjang sosial, kalau bisa malah mau naik kelas sosial. Sebelum Perang Diponegoro, elite di Tanah Jawa adalah Bumiputra. 

Selewat abad ke-18, praktis kekuasaan di Hindia Belanda ada di tangan orang-orang Belanda dan pemerintahan pendudukan setelahnya. Bagi orang-orang Tionghoa, yang bisa dilakukan biar derajat sosialnya tak turun adalah berupaya "menyama-nyamakan" diri dengan orang Belanda.

Sebelum abad ke-19, upaya Tionghoa melebur ke kalangan elite relatif lebih mudah dilakukan lewat perkawinan dengan trah bangsawan lokal, kecuali di Batavia yang sejak awal keberadaan wilayah ini nyaris berada di bawah kekuasaan pendatang.

Kalaupun ada Tionghoa di Batavia menikahi Bumiputra, penyebabnya semata karena tak ada perempuan Tionghoa totok yang bisa dinikahi pada saat itu. Yang dipilih pun bukan perempuan Jawa, melainkan perempuan Bali.

Perempuan Bali ini kelak dikenal sebagai Janda Siqua, perempuan yang menjadi kapitein Tionghoa berpengaruh kuat di Batavia selama 12 tahun. Kapitein adalah strata sosial bentukan penguasa kolonial yang memberikan sejumput otoritas pengaturan di tataran komunitas. 

Bukti tersirat tentang jejak panjang Tionghoa di Indonesia juga datang dari kalangan mereka sendiri. Di Batavia, perempuan Tionghoa totok yang tiba dari Tiongkok jadi tontonan publik. Hal serupa terjadi juga di Semarang, Jawa Tengah, pada 1815, bahkan nyonya-nyonya Tionghoa peranakan yang menontonnya sampai memberi persenan saking "asingnya" dia.

Jejak terjadinya peleburan juga bisa dilihat dari komunitas muslim Tionghoa. Onghokham mencatat, lonjakan Tionghoa menjadi muslim terjadi setelah pembantaian "Geger Pecinan" di Batavia pada 1740 dan memuncak pada 1766. Ada juga kisah-kisah lain tentang Tionghoa muslim dari Madura dan kawasan utara Jawa Tengah.

Menurut Onghokham, pada abad-abad itu, lebih banyak Tionghoa beralih memeluk agama Islam dibanding Kristen. Onghokham mengutip pula data bahwa pada abad ke-17 hanya ada enam Tionghoa yang memeluk agama Kristen di Batavia, dengan lima di antaranya adalah perempuan.

Bahkan, tulis Onghokham, sebutan Tionghoa peranakan pada masa itu juga merujuk pada orang Tionghoa yang beralih keyakinan ke Islam. Mereka dikenali dari rambut para lelaki yang dicukur dan tak lagi berkuncir serta penggunaan nama-nama Bumiputra.

Oleh pemerintah kolonial Belanda, Tionghoa muslim disebut sebagai geschoren chinese. Arti harfiah sebutan itu adalah orang Tionghoa yang dicukur.

Runtuhnya kekuatan elite lokal selepas Perang Diponegoro menghadirkan perubahan pula bagi para Tionghoa. Mereka tak lagi punya cukup minat untuk melebur ke Bumiputra.

Masalahnya, melebur ke kalangan penguasa Belanda lewat perkawinan tak semudah seperti perkawinan dengan bangsawan lokal, apalagi untuk level atau lingkaran Gubernur Jenderal. 

Karenanya, tutur Onghokham, upaya mereka merapat ke kalangan elite dilakukan dengan naturalisasi atau setidaknya menggunakan nama-nama kecil Belanda seperti Jan dan Pit. Ada juga yang menyarukan nama, semisal The Wan Soei ditulis WS The. 

Keinginan mendekatkan diri dan status sosial ke penguasa itu, tulis Onghokham, menjalar pula ke gaya hidup, termasuk pilihan perabot dan busana, setidaknya dalam gelaran jamuan yang jadi kebarat-baratan. Ini juga menjadi jalan bagi mereka untuk menawarkan jasa sebagai bagian upaya melebur ke elite terkini.

Sayangnya, Tionghoa pun tak lama menjadi anak emas pemerintahan kolonial Belanda. Sejumlah peristiwa pemberontakan dan konsolidasi ekonomi di Tanah Jawa yang ditengarai melibatkan kolaborasi Tionghoa dan Bumiputra membuat pemerintah kolonial berupaya mencegah asimilasi terjadi. 

Pelahan, upaya peleburan dengan masyarakat setempat pun terhenti karena itu. Tionghoa semakin kentara menjadi kelompok sendiri dan malah berlabel minoritas. Sebutan Tionghoa peranakan pun lalu tersemat bagi Tionghoa yang lahir di tanah Indonesia.

Kampung Tionghoa

Sebagai upaya mencegah terulangnya peristiwa-peristiwa penggabungan sumber daya Tionghoa dan Bumiputra, Pemerintah Kolonial Belanda pun membangun kampung yang mengisolasi suku-suku bangsa (wijkenstelsel) dan menerbitkan surat izin (pass) perjalanan lintas wilayah (passenstelsel). Proses asimilasi pun tak lagi semulus dan sealami sebelum abad ke-18.

Khusus untuk kampung Tionghoa, Onghokham mengutip Staatsblad tahun 1835 Nomor 37, yang menyatakan pemisahan kampung Tionghoa adalah untuk menghindari tercampurnya (almagatie) berbagai bangsa di Jawa.

Mulai tahun itu, pelaksanaan aturan tentang kampung Tionghoa diperketat. Mereka wajib tinggal di kampung-kampung Tionghoa yang diperintah oleh orang-orang mereka sendiri.

Secara umum aturan soal kampung ini berlaku juga untuk kelompok Bumiputra. Bedanya, pemimpin kampung Bumiputra adalah orang Belanda. 

Selain aturan pada 1835, kampung Tionghoa juga diatur lewat beleid terbitan 1818, 1827, dan 1854. Sebelum 1835, pelaksanaan aturan tidak terlalu keras. Kecenderungan terjadi percampuran antar-suku bangsa adalah pemicu pengetatan aturan mulai 1835. 

Sebelumnya, pilihan untuk tinggal di kampung yang berisi orang-orang sesuku bangsa memang terjadi juga secara natural. Namun, itu sebatas kebiasaan, bukan keharusan.

Onghokham menyebut bahwa sebelum 1740 ada orang-orang yang Tionghoa di Batavia—nama lama Jakarta—yang tinggal di luar kampung Tionghoa.

Valentijn, tokoh sejarah pada abad ke-18, seperti dikutip Onghokham mendeskripsikan bahwa orang-orang Tionghoa tinggal di rumah-rumah terbaik atau di lokasi yang baik, tak spesifik di kampung Tionghoa semata. 

Deskripsi itu ditulis Valentijn pada 1720. Namun, pada 1740 terjadi pembantaian orang Tionghoa. 

Peristiwa ini menjadi salah satu tambahan dasar yang digunakan pemerintah kolonial untuk menempatkan orang-orang Tionghoa di kampung khusus. Dalihnya, perlindungan.

Dulu, kampung Tionghoa di Batavia bukanlah di kawasan Glodok seperti yang masih bisa ditelusuri jejaknya hingga sekarang. Kawasan tersebut semula malah adalah Kampung Belanda.

Semenjak orang-orang Belanda yang tinggal di situ dipindahkan ke kawasan Weltevreden—sekarang masuk area Sawah Besar hingga Menteng—di era kekuasaan Daendels, barulah orang-orang Tionghoa berpindah ke Glodok. 

Pemerintah kolonial Hindia Belanda tampaknya punya kekhawatiran pula bahwa Tionghoa dan Bumiputra akan saling bantu ketika dibiarkan bebas berbaur. Terlebih lagi, ada rekam jejak mulai dari kerja sama Boen Seng dan Raden Prawira Sentana yang pernah menggoyang pemerintahan kolonial di Yogyakarta hingga peran Tionghoa dalam perang kemerdekaan.

Pada awal abad ke-19 hingga abad ke-20, tulis Onghokham, orang Tionghoa merasuk dan berpengaruh kuat dalam di kehidupan sosial Jawa lewat perkawinan anak orang kaya Tionghoa dan orang kuat Jawa. Ini juga masalah bagi pemerintahan kolonial.

Salah satu contoh yang dia sebut adalah kejadian di Pasuruan, Jawa Timur. Ketika ada orang Tionghoa yang dilindungi tokoh masyarakat di situ bermasalah dengan pemerintah kolonial, penanganannya sampai perlu mengirimkan kapal perang dari Batavia. 

Belum cukup, pengaturan izin perjalanan juga menambah sekat bagi pembauran Tionghoa dan warga setempat. Penyelundupan candu dan praktik lintah darat yang dijadikan dalih.

Menggunakan ini, pernah ada masa orang-orang Tionghoa di Karesidenan Rembang, Lasem, dan Tuban dimobilisasi paksa untuk tinggal di Kota Rembang, Lasem, dan Tuban.

Menggunakan aturan lansiran 1835, orang-orang Tionghoa di pedalaman dan yang sebelumnya tinggal di luar kampung Tionghoa diharuskan pindah ke ibu kota daerahnya. 

Pada 1848, pemerintahan Batavia bahkan sampai menegur pemerintahan daerah untuk tak asal saja memindahkan orang Tionghoa ke kota. Ini tersebab perekonomian lokal jadi terdampak. 

Akhirnya, pada 1866, keluar aturan baru, yang intinya mengharuskan warga Tionghoa tinggal di kampung-kampung khusus, sekalipun di pedalaman. Lewat aturan ini juga, lokasi kampung Tionghoa menjadi kewenangan pengaturan Gubernur Jenderal Pemerintahan Hindia Belanda.

Praktik monopoli oleh penguasa juga menjadi biang lain bagi asimilasi tak tuntas orang Tionghoa di Indonesia. Contoh kasusnya adalah larangan masuk kawasan Priangan bagi orang Tionghoa karena monopoli perdagangan kopi oleh penguasa kolonial, lewat aturan yang terbit pada 1764. 

Sempat dicabut di masa pendudukan Inggris di bawah pemerintahan Raffles, larangan pembatasan akses masuk ke Priangan ini berlaku lagi pada 1820 setelah kekuasaan kolonial kembali ke tangan Belanda. 

Sekolah pun terpisah

Pada mula-mula, orang Tionghoa yang tiba di Tanah Jawa menjadikan kekayaan sebagai tujuan sekaligus sarana menentukan derajat sosial. Ini berbeda dengan di Tiongkok yang menempatkan ahli kesusastraan di tingkat sosial tertinggi masyarakat.

Kekayaan itu didapat lewat jalan perdagangan yang di generasi berikutnya diikuti jalur warisan. Meski sudah kaya, latar belakang asal ini berpengaruh pada penyikapan mereka soal uang dan kehidupan, terutama di generasi-generasi pertama—antara lain masih bisa dipelajari dari struktur rumah besar tetapi hanya memiliki taman-taman sempit.

Soal upaya sendiri untuk menegaskan dan menaikkan lagi derajat sosial lewat pendidikan baru terjadi di generasi lanjutan. Pintu pembukanya adalah posisi opsir Tionghoa, yang memberi kesempatan mereka jadi kaya lalu punya pengaruh ke pemerintah dan bahkan bisa menjadi penasihat penguasa. 

Menurut Onghokham dalam bagian Pengajaran Tionghoa di buku Riwayat Tionghoa Peranakan di Jawa, pengajaran di kalangan Tionghoa semula digelar sendiri dengan seorang guru yang bila perlu didatangkan dari Tiongkok. Murid yang datang juga ke tempat guru. 

Namun, lanjut Onghokham, ada juga kondisi Tionghoa yang baru tiba dan masih miskin di Lasem pernah jadi sebab pembukaan sekolah bagi mereka. Pemerintah lokal Lasem menginisiasi ini pada 1900, sempat ditutup karena rezim berikutnya tak sepakat tetapi lalu dibuka lagi pada 1908. 

Model lain, hartawan Tionghoa membuka sekolah untuk anak-anak dari keluarga miskin Tionghoa. Di Batavia, misalnya, pernah ada sekolah seperti itu di belakang Klenteng Kim Tek Ie di Petak Sembilan, Glodok, Jakarta Barat. Inisiator sekolah gratis seperti ini diduga adalah para opsir Tionghoa.

Seturut dinamika pemerintahan kolonial Belanda, sekolah bagi anak-anak di Hindia Belanda pun dibedakan berdasarkan strata sosial bikinan mereka, yaitu berdasarkan golongan Eropa, Timur Asing, dan Bumiputra. Tiga sekolah pada masa itu adalah:

  • Hollandsch-Inlandsche School (HIS) adalah sekolah untuk anak-anak Bumiputtra
  • Hollandsch-Chineesche School (HCS) merupakan sekolah anak-anak Tionghoa
  • Europeech Lagere School (ELS) diperuntukkan bagi anak-anak Belanda, anak-anak elite Bumiputera, dan anak-anak elite Tionghoa.

Di tataran kelompok elite, anak-anak dari aneka suku bangsa masih bisa bertemu tetapi di sekolah saja.

Pemisahan dan pelabelan bagi Tionghoa pun berlanjut, lagi-lagi naik-turun berkelindan pula dengan arah angin politik kekuasaan rezim-rezim penguasa bahkan setelah era Indonesia merdeka.

Pertanyaannya, masih perlu dan pantas adakah pelabelan-pelabelan ini?

Naskah: KOMPAS.com/PALUPI ANNISA AULIANI

Catatan:

Artikel harian Kompas yang dikutip di tulisan ini dapat diakses publik melalui layanan Kompas Data. 

https://nasional.kompas.com/read/2022/02/02/07061601/lika-liku-tionghoa-dianggap-minoritas-di-indonesia

Terkini Lainnya

Gagal ke DPR, PPP Curigai Sirekap KPU yang Tiba-tiba Mati Saat Suara Capai 4 Persen

Gagal ke DPR, PPP Curigai Sirekap KPU yang Tiba-tiba Mati Saat Suara Capai 4 Persen

Nasional
Respons PDI-P soal Gibran Berharap Jokowi dan Megawati Bisa Bertemu

Respons PDI-P soal Gibran Berharap Jokowi dan Megawati Bisa Bertemu

Nasional
GASPOL! Hari Ini: Keyakinan Yusril, Tinta Merah Megawati Tak Pengaruhi MK

GASPOL! Hari Ini: Keyakinan Yusril, Tinta Merah Megawati Tak Pengaruhi MK

Nasional
Tak Banyak Terima Permintaan Wawancara Khusus, AHY: 100 Hari Pertama Fokus Kerja

Tak Banyak Terima Permintaan Wawancara Khusus, AHY: 100 Hari Pertama Fokus Kerja

Nasional
Jadi Saksi Kasus Gereja Kingmi Mile 32, Prngusaha Sirajudin Machmud Dicecar soal Transfer Uang

Jadi Saksi Kasus Gereja Kingmi Mile 32, Prngusaha Sirajudin Machmud Dicecar soal Transfer Uang

Nasional
Bareskrim Polri Ungkap Peran 5 Pelaku Penyelundupan Narkoba Jaringan Malaysia-Aceh

Bareskrim Polri Ungkap Peran 5 Pelaku Penyelundupan Narkoba Jaringan Malaysia-Aceh

Nasional
Usulan 18.017 Formasi ASN Kemenhub 2024 Disetujui, Menpan-RB: Perkuat Aksesibilitas Layanan Transportasi Nasional

Usulan 18.017 Formasi ASN Kemenhub 2024 Disetujui, Menpan-RB: Perkuat Aksesibilitas Layanan Transportasi Nasional

Nasional
Ketua KPU Dilaporkan ke DKPP, TPN Ganjar-Mahfud: Harus Ditangani Serius

Ketua KPU Dilaporkan ke DKPP, TPN Ganjar-Mahfud: Harus Ditangani Serius

Nasional
Jokowi Ingatkan Pentingnya RUU Perampasan Aset, Hasto Singgung Demokrasi dan Konstitusi Dirampas

Jokowi Ingatkan Pentingnya RUU Perampasan Aset, Hasto Singgung Demokrasi dan Konstitusi Dirampas

Nasional
Menko di Kabinet Prabowo Akan Diisi Orang Partai atau Profesional? Ini Kata Gerindra

Menko di Kabinet Prabowo Akan Diisi Orang Partai atau Profesional? Ini Kata Gerindra

Nasional
Selain 2 Oknum Lion Air,  Eks Pegawai Avsec Kualanamu Terlibat Penyelundupan Narkoba Medan-Jakarta

Selain 2 Oknum Lion Air, Eks Pegawai Avsec Kualanamu Terlibat Penyelundupan Narkoba Medan-Jakarta

Nasional
Dirut Jasa Raharja: Efektivitas Keselamatan dan Penanganan Kecelakaan Mudik 2024 Meningkat, Jumlah Santunan Laka Lantas Menurun

Dirut Jasa Raharja: Efektivitas Keselamatan dan Penanganan Kecelakaan Mudik 2024 Meningkat, Jumlah Santunan Laka Lantas Menurun

Nasional
Hasto Minta Yusril Konsisten karena Pernah Sebut Putusan MK Soal Syarat Usia Cawapres Picu Kontroversi

Hasto Minta Yusril Konsisten karena Pernah Sebut Putusan MK Soal Syarat Usia Cawapres Picu Kontroversi

Nasional
Suami Zaskia Gotik Dicecar soal Penerimaan Dana Rp 500 Juta dalam Sidang Kasus Gereja Kingmi Mile 32

Suami Zaskia Gotik Dicecar soal Penerimaan Dana Rp 500 Juta dalam Sidang Kasus Gereja Kingmi Mile 32

Nasional
Tambah Syarat Calon Kepala Daerah yang Ingin Diusung, PDI-P: Tidak Boleh Bohong

Tambah Syarat Calon Kepala Daerah yang Ingin Diusung, PDI-P: Tidak Boleh Bohong

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke