JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menilai Rancangan Undang-Undang (RUU) Pertanahan memberi impunitas terhadap korporasi yang menguasai lahan secara fisik melebihi luasan haknya.
"Kami melihat potensi ada impunitas terhadap korporasi. Kalau ditetapkan dengan rumusan sekarang, betul ada pemutihan lahan-lahan oleh korporasi," ujar Wakil Ketua Bidang Eksternal Komnas HAM Sandrayati Moniaga dalam diskusi terkait RUU Pertanahan di kantor Komnas HAM, Jakarta Pusat, Jumat (6/9/2019).
Pasal 25 Ayat 8 RUU Pertanahan versi Agustus-September 2019 menyebutkan, dalam hak pemegang hak guna usaha (HGU) yang menguasai fisik melebihi luasan pemberian haknya, maka status tanahnya dihapus dan menjadi tanah yang dikuasai oleh negara yang penggunaan dan pemanfaatannya diatur oleh menteri.
Baca juga: Komnas HAM: RUU Pertanahan Dinilai Tidak Cerminkan Keadilan Agraria
Menanggapi hal itu, Sandrayati menyatakan, berdasarkan catatan Komnas HAM, dari 2,7 juta hektar lahan yang berkonflik karena konsesi, sebagian besar adalah tanah yang merupakan wilayah hidup masyarakat dan sebagian perusahaan yang diproses oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Untuk itu, Sandrayati menilai pasal itu menegasikan hak masyarakat.
"Dalam perspektif HAM, RUU pertanahan juga dinilai menimbulkan pengabaian terhadap akses masyarakat terhadap lahan atau milik dengan memperlama jangka waktu penguasaan guna usaha untuk konsesi perusahaan," ungkapnya kemudian.
Baca juga: Komnas HAM Minta Pengesahan RUU Pertanahan Ditunda
Diketahui, dalam RUU tersebut, jangka waktu HGU untuk konsesi kepada perusahaan dilakukan selama 3 periode dengan total waktu selama 90 tahun.
Rinciannya yaitu, periode pertama selama 35 tahun, dan periode kedua selama 35 tahun, dan pemberian hak ketiga selama 20 tahun.
Selain itu, lanjut Sandrayati, RUU Pertanahan juga permisif terhadap penguasaan individual yang luas (5 Ha) dan apabila memiliki di berbagai tempat hanya diberikan pajak progresif.
"Untuk itu, Komnas HAM RI meminta Presiden dan DPR RI untuk menunda pengesahan RUU pertanahan dan kembali mendiskusikan muatan materi yang diatur agar selaras dengan konstitusi, TAP MPR Nomor IX/MPR/2011 dan UUPA," pungkasnya.