Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Maria Ardianingtyas
Advokat

Maria Ardianingtyas, S.H., LL.M | Advokat | Pengamat Hukum

Urgensi Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual

Kompas.com - 25/01/2019, 19:46 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

KASUS Baiq Nuril memang sempat tenggelam di tengah hiruk pikuk Pemilihan Presiden dan Legislatif dan isu pembebasan Ustad Abu Bakar Ba’asyir.

Seperti yang diberitakan Kompas.com, bahwa proses hukum laporan pidana Baiq Nuril terhadap Muslim, mantan Kepala SMA 7 Mataram sekaligus mantan atasannya, telah dihentikan di tingkat penyelidikan oleh Kepolisian Daerah Nusa Tenggara Barat (Polda NTB).

Alasan dari penghentian proses hukum tersebut adalah laporan pidana dari Baiq Nuril sebagai korban pelecehan seksual tidak cukup bukti dan tidak memenuhi unsur Pasal 294 ayat (2) ke-1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).

Pasal 294 Ayat (2) ke-1 KUHP sendiri mengatur bahwa pejabat yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang karena jabatan adalah bawahannya atau dengan orang yang penjagaannya dipercayakan atau diserahkan kepadanya, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.

Baca juga: Melalui Kuasa Hukum, Baiq Nuril Resmi Ajukan PK Putusan MA

Dengan dihentikannya proses hukum atas laporan pidana Baiq Nuril oleh Polda NTB, maka saat ini status Baiq Nuril sudah bukan korban lagi. Dan satu-satunya upaya hukum Baiq Nuril untuk mendapatkan keadilan adalah upaya Peninjauan Kembali (PK) yang saat ini sedang berjalan di tingkat Mahkamah Agung (MA).

Tentunya dengan harapan bahwa nantinya putusan PK MA akan memenangkan Baiq Nuril dan membatalkan putusan Kasasi MA No 574K/Pid.Sus/2018 tertanggal 26 September 2018 yang sebenarnya sudah berkekuatan hukum tetap (inkracht).


Adanya Kekosongan Hukum

Kegagalan Baiq Nuril dalam memperjuangkan haknya sebagai korban kasus pelecehan seksual seolah membuktikan bahwa memang ada kekosongan hukum dalam perlindungan hukum perempuan di Indonesia.

Faktanya KUHP tidak mengatur mengenai pelecehan seksual secara verbal, sehingga perempuan di Indonesia sulit melindungi dan membela dirinya apabila harus menghadapi hal-hal yang bisa dikategorikan pelecehan seksual secara verbal.

Selain tidak ada dasar hukum yang kuat, pembuktiannya pun juga cukup sulit karena salah satu cara untuk mendapatkan alat bukti adalah dengan merekam kejadian pelecehan seksual verbal tersebut.

Dan hal ini justru malah bisa menjadi boomerang bagi si korban itu sendiri, yaitu dapat terjerat Pasal 27 Ayat (1) Undang-Undang (UU) No 11 Tahun 2008 juncto UU No 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Isi Pasal 27 Ayat (1) UU ITE adalah setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.

Lalu bagaimana cara perempuan yang menjadi korban kasus pelecehan seksual membela dirinya dan mendapatkan perlindungan hukum?

Baca juga: Komisi III Sepakat Lakukan Eksaminasi untuk Kasus Baiq Nuril

Sebenarnya apabila Indonesia sudah memiliki Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (UU PKS), mungkin saja nasib Baiq Nuril tidak perlu menempuh jalan yang berliku. Karena apabila melihat Rancangan UU PKS versi tanggal 6 April 2017 (RUU PKS), pelecehan seksual adalah termasuk tindak pidana kekerasan seksual.

Adapun, definisi pelecehan seksual menurut RUU PKS diatur di dalam Pasal 12, di mana kekerasan seksual yang dilakukan dalam bentuk tindakan fisik maupun non-fisik terhadap orang lain, yang berhubungan dengan bagian tubuh seseorang dan terkait hasrat seksual, sehingga mengakibatkan orang lain terintimidasi, terhina, direndahkan, atau dipermalukan.

Adapun pelecehan seksual ini merupakan delik aduan, kecuali jika dilakukan terhadap anak, penyandang disabilitas, dan anak dengan disabilitas, akan menjadi delik pidana biasa.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com