JAKARTA, KOMPAS.com — Pengacara mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung, Yusril Ihza Mahendra, menilai bahwa hadirnya dua mantan Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, Keuanganm dan Industri (Menko Ekuin) Kwik Gian Gie dan Rizal Ramli sebagai saksi dalam persidangan adalah hal yang biasa.
Kwik Gian Gie dan Rizal Ramli akan menjadi saksi yang dihadirkan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam sidang dugaan tindak pidana korupsi pemberian Surat Keterangan Lunas (SKL) kepada Sjamsul Nursalim terkait pinjaman Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), Kamis (5/7/2018).
"Mereka kan (Kwik Kian Gie dan Rizal Ramli) dihadirkan sebagai saksi fakta, bukan ahli di persidangan. Ini kita akan dengarkan fakta-fakta yang akan disampaikan,” ujar Yusril di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta Pusat, Rabu (4/7/2018).
Kwik Kian Gie adalah Menko Ekuin periode 1999-2000 dan Ketua Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK). Sementara itu, Rizal Ramli adalah Menko Ekuin sekaligus Ketua KKSK periode 2000-2001.
Baca: Kamis, Kwin Kian Gie dan Rizal Ramli Bakal Jadi Saksi di Sidang BLBI
Menurut Yusril, mereka tidak ada kaitan langsung dengan terdakwa Syafruddin Arsyad Temenggung.
Di sisi lain, Yusril menilai, audit investigasi BPK tahun 2017 yang digunakan KPK tidak dapat dijadikan dasar untuk menuntut dengan tuduhan merugikan keuangan negara.
Yusril mengatakan, kerugian bukan disebabkan penerbitan SKL (Surat Keterangan Lunas).
Namun, dalam audit BPK, kerugian negara terjadi akibat penjualan piutang BDNI kepada petani tambak.
"Kebijakan BLBI adalah saat Pak Soeharto (Presiden ke-2 RI), yang dipersoalkan mereka adalah Pak Syafruddin (Syafruddin Arsyad Temenggung) ini kongkalikong dengan Pak Sjamsul Nursalim dalam hal pemotongan jumlah utang tambak. Padahal, itu sudah diputuskan KKSK (Ketua Komite Kebijakan Sektor Keuangan)," kata Yusril.
Baca juga: Pengacara Syafruddin Sebut Korupsi BLBI Terjadi Akibat Pengawasan BI yang Lemah
Berdasarkan perhitungan BPPN, BDNI (Bank Dagang Negara Indonesia) per 21 Agustus 1998 memiliki utang (kewajiban) sebesar Rp 47,258 triliun.
Sementara aset yang dimiliki BDNI adalah sebesar Rp 18,85 triliun termasuk di dalamnya utang Rp 4,8 triliun kepada petani tambak yang dijamin oleh PT Dipasena Citra Darmadja (DCD) dan PT Wachyuni Mandira (WM) milik Sjamsul Nursalim.
BPPN pada 27 April 2000 memutuskan utang petambak yang dapat ditagih adalah Rp1,34 triliun dan utang yang tidak dapat ditagih yaitu Rp3,55 triiun diwajibkan untuk dibayar kepada pemilik atau pemegang saham PT DCD dan PT WM.
Yusril menganggap bahwa jaksa telah keliru dalam memahami tanggung jawab kepada pemegang saham PT Dipasena Citra Darmadja (PT DCD) dan PT Wachyuni Mandira (PT WM).
"Dalam UU Persereoan Terbatas (PT) enggak ada tanggung jawab pemegang saham," kata dia.