Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jelang Pengesahan RKUHP, Ribuan Netizen Teken Petisi "KPK Dalam Bahaya"

Kompas.com - 04/06/2018, 06:40 WIB
Dylan Aprialdo Rachman,
Sabrina Asril

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Ribuan netizen menandatangani petisi berjudul "KPK DALAM BAHAYA, TARIK SEMUA ATURAN KORUPSI DARI R KUHP!". Hingga pukul 06.08 WIB, Senin (4/6/2018), sebanyak 4.699 telah memberikan dukungannya dalam petisi itu.

Petisi tersebut dikeluarkan oleh Sahabat Indonesian Corruption Watch (ICW) dalam menyikapi upaya DPR dan Pemerintah yang akan segera mengesahkan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (R-KUHP) pada 17 Agustus 2018 mendatang.

Dalam petisi itu, Sahabat ICW mengungkapkan ada sejumlah substansi yang dapat mengancam eksistensi KPK dan upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.

"Pertama, Jika RKUHP disahkan maka KPK tidak lagi memiliki kewenangan dalam melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan," bunyi petisi tersebut.

Baca juga: RKUHP Dinilai Bisa Bunuh KPK Secara Perlahan

Kewenangan KPK telah tercantum dalam Undang-Undang KPK yang secara spesifik menyebutkan bahwa KPK berwenang menindak tindak pidana korupsi yang diatur dalam UU Tipikor (dan bukan dalam KUHP).

Sahabat ICW menganggap jika delik korupsi dimasukkan dalam KUHP, maka hanya Kejaksaan dan Kepolisian yang dapat menangani kasus korupsi. Pada akhirnya, KPK dinilainya hanya akan menjadi "Komisi Pencegahan Korupsi".

Aturan itu juga dianggap kontra produktif dengan kinerja KPK yang telah menyelamatkan uang negara melalui berbagai operasi tangkap tangan dan proses hukum terhadap para koruptor.

"Tidak hanya KPK, akan tetapi Pengadilan Tipikor pun terancam keberadaannya. Selama ini Pengadilan Tipikor hanya memeriksa dan mengadili kejahatan yang diatur dalam UU Tipikor. Maka jika R-KUHP ini disahkan kejahatan korupsi akan kembali diperiksa dan diadili Pengadilan Negeri," papar petisi tersebut.

Baca juga: Tiga Pandangan Akademisi Ini Jadi Alasan KPK Tolak Pasal Korupsi dalam RKUHP

Petisi tersebut juga mengungkapkan, sejumlah ketentuan delik korupsi dalam R-KUHP justru menguntungkan koruptor. Sebab, ancaman pidana penjara dan denda bagi koruptor dalam R-KUHP lebih rendah dari ketentuan yang diatur dalam UU Tipikor.

"Koruptor yang diproses secara hukum dan dihukum bersalah tidak diwajibkan mengembalikan hasil korupsinya kepada negara karena R-KUHP tidak mengatur hal ini. Selain itu, pelaku korupsi cukup mengembalikan kerugian keuangan negara agar tidak diproses oleh penegak hukum," ungkap petisi itu.

Presiden juga dinilai telah ingkar janji dengan poin keempat Nawacita yang menyatakan akan memperkuat penegakan hukum dan pemberantasan korupsi. Selain itu, Pemerintahan Jokowi dan partai politik nantinya akan tercatat sebagai lembaga yang melemahkan KPK dan upaya pemberantasan korupsi.

Baca juga: Kata Wapres, KPK Sebaiknya Surati DPR, Bukan ke Presiden soal RKUHP

"Oleh karena itu kami mempetisi Presiden Joko Widodo dan Ketua DPR serta Ketua Umum dari Partai Politik di DPR untuk segera menyelamatkan KPK dari bahaya dengan segera menarik seluruh aturan atau delik korupsi dalam R-KUHP," bunyi petisi itu.

Sahabat ICW juga meminta agar pemerintah dan DPR memprioritaskan pembahasan regulasi atau rancangan undang-undang yang mendukung upaya pemberantasan korupsi seperti Revisi UU Tipikor, RUU Pembatasan Transaksi Tunai dan RUU Perampasan Aset Hasil kejahatan.

Halaman:



Terkini Lainnya

Muslimat NU Kirim Bantuan Kemanusiaan Rp 2 Miliar ke Palestina

Muslimat NU Kirim Bantuan Kemanusiaan Rp 2 Miliar ke Palestina

Nasional
Luhut Minta Prabowo Tak Bawa Orang 'Toxic', Projo: Nasihat Bagus

Luhut Minta Prabowo Tak Bawa Orang "Toxic", Projo: Nasihat Bagus

Nasional
Buktikan Kinerja Unggul, Pertamina Hulu Energi Optimalkan Kapabilitas Perusahaan

Buktikan Kinerja Unggul, Pertamina Hulu Energi Optimalkan Kapabilitas Perusahaan

Nasional
Gerindra Sebut Jokowi Justru Dorong Prabowo untuk Bertemu Megawati

Gerindra Sebut Jokowi Justru Dorong Prabowo untuk Bertemu Megawati

Nasional
Tak Cemas Lawan Kandidat Lain pada Pilkada Jatim, Khofifah: Kenapa Khawatir?

Tak Cemas Lawan Kandidat Lain pada Pilkada Jatim, Khofifah: Kenapa Khawatir?

Nasional
Khofifah Tolak Tawaran Jadi Menteri Kabinet Prabowo-Gibran, Pilih Maju Pilkada Jatim

Khofifah Tolak Tawaran Jadi Menteri Kabinet Prabowo-Gibran, Pilih Maju Pilkada Jatim

Nasional
Soal Duetnya pada Pilkada Jatim, Khofifah: Saya Nyaman dan Produktif dengan Mas Emil

Soal Duetnya pada Pilkada Jatim, Khofifah: Saya Nyaman dan Produktif dengan Mas Emil

Nasional
Pertamina Goes To Campus, Langkah Kolaborasi Pertamina Hadapi Trilema Energi

Pertamina Goes To Campus, Langkah Kolaborasi Pertamina Hadapi Trilema Energi

Nasional
Respons Luhut Soal Orang 'Toxic', Golkar Klaim Menterinya Punya Karya Nyata

Respons Luhut Soal Orang "Toxic", Golkar Klaim Menterinya Punya Karya Nyata

Nasional
Ditanya Soal Progres Pertemuan Prabowo-Megawati, Gerindra: Keduanya Mengerti Kapan Harus Bertemu

Ditanya Soal Progres Pertemuan Prabowo-Megawati, Gerindra: Keduanya Mengerti Kapan Harus Bertemu

Nasional
Gerindra Tangkap Sinyal PKS Ingin Bertemu Prabowo, tapi Perlu Waktu

Gerindra Tangkap Sinyal PKS Ingin Bertemu Prabowo, tapi Perlu Waktu

Nasional
Mencegah 'Presidential Club' Rasa Koalisi Pemerintah

Mencegah "Presidential Club" Rasa Koalisi Pemerintah

Nasional
Nasdem-PKB Gabung Prabowo, Zulhas Singgung Pernah Dicap Murtad dan Pengkhianat

Nasdem-PKB Gabung Prabowo, Zulhas Singgung Pernah Dicap Murtad dan Pengkhianat

Nasional
Pengamat HI Harap Menlu Kabinet Prabowo Paham Geopolitik, Bukan Cuma Ekonomi

Pengamat HI Harap Menlu Kabinet Prabowo Paham Geopolitik, Bukan Cuma Ekonomi

Nasional
PDI-P Harap MPR Tak Lantik Prabowo-Gibran, Gerindra: MK Telah Ambil Keputusan

PDI-P Harap MPR Tak Lantik Prabowo-Gibran, Gerindra: MK Telah Ambil Keputusan

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com