JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah dan DPR akhirnya sepakat untuk mempercepat pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (RUU Antiterorisme).
Baca juga: Wiranto Pastikan Revisi UU Antiterorisme Tidak Akan Merugikan Rakyat
Lamanya waktu pengesahan RUU Anti-terorisme memang tengah menjadi sorotan pasca-serangkaian aksi teror yang terjadi belangkan ini.
Pasalnya, revisi UU Antiterorisme telah diusulkan oleh pemerintah sejak 2016 setelah aksi teror bom di kawasan Thamrin.
Revisi UU Antiterorisme, menurut pemerintah, perlu segera dilakukan. Revisi itu diharapkan dapat mencegah serangan terjadi kembali. Namun, beberapa pasal justru menimbulkan pro dan kontra dalam proses pembahasannya.
Baca juga: Wiranto: Pemerintah Akan Lebih Tegas Basmi Kegiatan Terorisme
Berikut beberapa pasal yang menjadi perdebatan antara pemerintah, DPR dan kalangan masyarakat sipil.
1. Definisi Terorisme
Ketua Panitia Khusus (Pansus) RUU Antiterorisme Muhammad Syafi'i mengungkapkan bahwa dalam pembahasan, terjadi perbedaan pendapat antara DPR dan Pemerintah terkait definisi terorisme.
Syafi'i mengatakan, dalam Pasal 1 angka 1 draf RUU Antiterorisme, DPR menginginkan definisi terorisme memasukkan unsur politik.
Baca juga: Pembahasan RUU Anti-Terorisme Tinggal Perdebatan Definisi Terorisme
Artinya, seorang pelaku kejahatan bisa dikategorikan sebagai terorisme jika melakukan tindakan kejahatan yang merusak obyek vital strategis, menimbulkan ketakutan yang massif, untuk mencapai tujuan tertentu utamanya di bidang politik.
Selain itu, pelaku juga harus dibuktikan memiliki atau terlibat dalam suatu jaringan kelompok teroris.
Sementara, kata Syafi'i, pihak pemerintah memandang tak perlu ada unsur politik dalam definisi terorisme.
"Yang melakukan kejahatan dengan maksud menimbulkan ketakutan yang massif, korban yang massal dan merusak obyek vital yang strategis. Ini kan tindak pidana biasa," kata Syafi'i.
Baca juga: Dianggap Negatif, Definisi Terorisme dalam RUU Anti-terorisme Masih Dirumuskan
"Harusnya dengan motif politik yang bisa mengganggu keamanan negara misalnya. Nah itu baru bisa disebut teroris. Mereka (pemerintah) enggak sepakat dengan itu," ucapnya.
2. Pelibatan TNI
Pasal terkait pelibatan TNI dalam pemberantasan tindak pidana terorisme juga sempat menimbulkan perdebatan panjang.