JAKARTA, KOMPAS.com – Presiden Joko Widodo mengizinkan dua menteri yang berasal dari Partai Golkar untuk rangkap jabatan dengan menjadi pengurus partai.
Padahal sebelumnya, Jokowi menyatakan bahwa para menteri di kabinet tidak boleh memegang jabatan di kepengurusan partai politik.
Direktur Utama Saiful Mujani Research Consulting (SMRC) Djayadi Hanan menilai, keputusan Jokowi itu jelas menyalahi komitmen awalnya. Namun, hal itu dilakukan demi Pilpres 2019.
"Jokowi itu membutuhkan stabilitas politik dari partai koalisinya. Oleh karena itu. tidak boleh ada partai yang menjadi lokomotif yang bisa menarik gerbong keluar dari koalisi," ujar Djayadi di Jakarta, Rabu (24/1/2019).
Saat ini, kata Djayadi, ada dua partai yang menjadi lokomotif di koalisi Jokowi yaitu PDI-P dan Partai Golkar. Namun, Partai Golkar punya potensi untuk membuat poros baru pada Pilpres 2019.
(Baca juga: Politisi PDI-P Minta Jokowi Pertegas Apa Rangkap Jabatan Bisa untuk Selain Golkar)
Dengan kekuatan suara dan pemilih yang sudah mengakar, Partai Golkar dinilai punya kekuatan untuk menarik partai-partai lain membuat poros baru di luar poros Jokowi dan poros Prabowo.
Djayadi yakin Jokowi juga sudah mempertimbangkan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang tetap mewajibkan ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold.
"Dengan adanya ketua umum yang menjadi bawahan Jokowi sebagai menteri, kan lebih mudah berkordinasi dan lebih mudah memastikan dukungan solid dari Partai Golkar," kata dia.
(Baca juga: Kecuali PAN, Semua Parpol Pendukung Tak Persoalkan Jokowi soal Rangkap Jabatan)
Dengan pertimbangan itu, Djayadi mengatakan, tujuan Jokowi memperbolehkan dua menteri dari Partai Golkar rangkap jabatan untuk mengamankan suara jika partai berlambang beringin itu tetap mendukungnya pada Pilpres 2019.
Sebab, bila Partai Golkar membentuk poros baru, maka hal itu dinilai bisa membuat partai koalisi Jokowi pecah dan mengancam keterpilihan Jokowi pada 2019. Namun, dengan memegang Partai Golkar, maka kursi RI 1 dapat diamankan Jokowi.
Jokowi sebelumnya mengizinkan Airlangga Hartarto rangkap jabatan sebagai Menteri Perindustrian dan Ketua Umum Partai Golkar. Presiden mengaku sulit mencari pengganti Airlangga karena masa pemerintahannya tinggal satu setengah tahun.
Selain itu, Idrus Marham yang baru saja ditunjuk sebagai Menteri Sosial juga tetap menjabat sebagai Koordinator Bidang Hubungan Eksekutif-Legislatif dalam susunan kepengurusan Partai Golkar yang baru.