JAKARTA, KOMPAS.com - Presiden Joko Widodo melunak soal larangan menteri rangkap jabatan di partai politik. Pada awal pemerintahannya, Jokowi menegaskan bahwa para menteri di kabinetnya tidak boleh rangkap jabatan.
Alasannya, agar para menteri fokus bekerja.
"Satu jabatan saja belum tentu berhasil, apalagi dua," ujar Jokowi, saat itu.
Kebijakan Jokowi itu sempat mendapatkan protes dari partai politik pendukungnya.
Beberapa yang tak terima di antaranya Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa Muhaimin Iskandar dan Ketua DPP PDI Perjuangan Puan Maharani.
Namun, Jokowi bergeming dan tetap konsisten menjalankan kebijakannya itu.
Baca juga: Soal Rangkap Jabatan Menteri, PKS Persilahkan Rakyat yang Menilai
Akhirnya, para elite parpol yang mengalah. Seluruh elite parpol yang ditunjuk sebagai menteri menanggalkan jabatannya di struktural harian partai politik.
Sementara, mereka yang tak mau melepas posisi di parpol otomatis gagal menjadi menteri.
Kini, setelah lebih dari 3 tahun pemerintahan berjalan, konsistensi Jokowi mulai goyah.
Golkar istimewa
Jokowi mengizinkan Airlangga Hartarto rangkap jabatan sebagai menteri Perindustrian dan Ketua Umum Partai Golkar.
Kepala Negara mengaku sulit mencari pengganti Airlangga karena masa pemerintahannya tinggal satu setengah tahun.
Selain itu, Idrus Marham yang baru saja ditunjuk sebagai Menteri Sosial juga tetap menjabat sebagai Koordinator Bidang Hubungan Eksekutif-Legislatif dalam susunan kepengurusan Golkar yang baru.
Baca juga: Jokowi, Golkar, dan Komitmen yang Dilanggar
Kader Golkar lainnya, Kepala BNP2TKI Nusron Wahid masih duduk sebagai Ketua Koordinator bidang Pemenangan Pemilu Jawa dan Kalimantan Partai Golkar.
Padahal, Golkar sendiri baru masuk dalam barisan koalisi parpol pendukung pemerintah pada 2016.
Sebelumnya, partai ini mendukung pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa pada Pilpres 2014 dan melanjutkan posisinya sebagai partai oposisi.
Tak masalah
Partai politik pendukung pemerintah tak mempermasalahkan "keistimewaan" yang diberikan Jokowi kepada menteri dari Golkar.