JAKARTA, KOMPAS.com — Keputusan Presiden Joko Widodo memperbolehkan Airlangga Hartarto merangkap jabatan sebagai Menteri Perindustrian sekaligus Ketua Umum Partai Golkar terus menuai pro dan kontra.
Tak hanya Airlangga, Idrus Marham yang baru saja dilantik sebagai Menteri Sosial juga merangkap Koordinator Bidang Hubungan Eksekutif-Legislatif Partai Golkar.
Di kalangan partai politik pendukung pemerintah, hanya PAN yang mengkritik keputusan Jokowi itu.
Sementara PDI-P, Golkar, Nasdem, PKB, dan PPP tidak mempersoalkannya.
Baca juga: Kata Idrus Marham soal Rangkap Jabatan
Di sisi lain, partai politik oposisi, yakni Gerindra dan PKS, mengkritik habis-habisan.
Keputusan Presiden Jokowi tersebut terus disandingkan dengan komitmennya sejak awal pemerintahan: melarang menteri merangkap jabatan di partai politik.
Butuh dukungan di 2019
"Jokowi itu terpaksa melanggar komitmennya sendiri karena jelas dia butuh pengamanan Pilpres 2019," ujar Imam kepada Kompas.com, Selasa (23/1/2018).
"Untuk maju di 2019, dia kan harus didukung partai politik. Jadi, saat ini, Jokowi akan mengakomodasi kepentingan politik yang pragmatis, bahkan meskipun bertolak belakang dengan janji semasa awal pemerintahannya sendiri," lanjutnya.
Secara etika politik, kata Imam, keputusan Jokowi menuai perdebatan. Namun, secara politis, keputusan Jokowi itu dinilai tepat.
Sebab, tanpa dukungan partai politik, akan mempersulit Jokowi.
"Ini dilema memang. Namun, Jokowi tahu prioritasnya. Jokowi berpikir elektabilitasnya tinggi, tetapi tanpa dukungan parpol, dia tidak bisa maju. Akhirnya dia sekarang ini mengamankan suara parpol dulu. Baru menggenjot elektabilitas," ujar Imam.
Baca juga: Gerindra: Selama Tak Ganggu Kinerja, Menteri Tak Masalah Rangkap Jabatan
"Ketika tiket dari parpol sudah aman, tahapan kerja politik selanjutnya adalah menggenjot elektabilitas," katanya.
Apalagi, bagi seorang petahana, sebenarnya tidak sulit meningkatkan elektabilitas. Jokowi hanya cukup mengeluarkan kebijakan-kebijakan populis. Suara otomatis bakal terdulang.