Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Ren Muhammad

Pendiri Khatulistiwamuda yang bergerak pada tiga matra kerja: pendidikan, sosial budaya, dan spiritualitas. Selain membidani kelahiran buku-buku, juga turut membesut Yayasan Pendidikan Islam Terpadu al-Amin di Pelabuhan Ratu, sebagai Direktur Eksekutif.

Kaidah Emas Kehidupan

Kompas.com - 06/06/2017, 12:23 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorLaksono Hari Wiwoho

6 Juni, 116 tahun silam, menitis seorang anak manusia Nusantara yang kelak dikenal dunia sebagai Sukarno. Dialah salah seorang tetua negara-bangsa besar bernama Indonesia.

Hingga hari ini, belum lahir lagi seseorang dengan kemampuan sebesar dirinya. Jangankan di negara yang ia bangun, di tingkat mancanegara pun tidak.

Ada apa dengan bangsa manusia? Apa yang menyebabkan peradaban yang kita kembangkan sejauh ini tak memunculkan lagi sosok manusia tangguh yang daya jangkaunya melampaui zaman? Hidup jenis apa yang sesungguhnya sedang kita jalani? Di mana sejatinya hidup diletakkan Tuhan?

Pertanyaan itu perlu kita jawab sebagai makhluk sempurna—puncak penciptaan-Nya. Jika berhasil menemukan jawaban, niscaya tak satu pun kita berani mengikrar je pense donc je suis/cogito ergo sum/i think therefore i am/aku berpikir maka aku ada.

René Descartes (1596-1650) yang baik lagi alim itu sama sekali tak bersalah ketika mencetuskan narasi eksistensi yang kemudian diamini di Barat sana. Saat itu, ia hanya belum khatam mengkaji kitab Ibn Rusyd yang berjudul Tahafut at-Tahafut (Kerancuannya Kerancuan) para filosof.

Andai Descartes hidup di abad kita yang cerewet ini, ia pasti pusing kepala. Manusia modern punya postulat baru: aku berkata maka aku ada. Padahal jika lidah adalah hulu dari kata-kata, maka di manakah hilirnya? Rendra menjawab pertanyaan ini dalam salah sebuah bait puisinya yang berjudul Paman Doblang, "dan perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata."

Descartes yang religius pun terjebak pada keinginannya menjadi filosof. Bukan jadi manusia paripurna. Padahal, sejak kemunculan tradisi berfilsafat di Yunani, Socrates telah mengingatkan betapa bahayanya mengandalkan nalar semata. Akal rasional.

Toh pada galibnya, hidup takkan membuka tabir pada mereka yang gemar mencari pembenaran pada akal sehat saja. Soal benar dan salah. Ibn Rusyd yang sudah uzur baru tersadar ia terlampau jauh dari kebaikan hidup sejak bertemu bocah bernama Ibn 'Arabi—yang kelak tampil sebagai bijak bestari besar Islam asal Seville, Andalusia (kini Spanyol).

Modal terbesar hidup bukan setinggi apa ilmu kita, sebanyak apa harta kita kumpulkan, bergudang doktrin-dogma yang kita yakini, atau hafalan ayat dari kitab suci. Bukan.

Tak perlu terlalu rungsing melihat segala fenomena dunia fana ini sebab kita tak selamanya di sini. Namun, kebajikan hidup yang telah dijalani para pendahulu kita ternyata bertahan lebih lama ketimbang usianya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com