Wabishah bin Ma'bad pernah mendatangi nabi akhir zaman, Muhammad SAW, dan bertanya tentang kebaikan. Sang Nabi pun menjawab, "Mintalah fatwa pada hatimu sendiri. Kebaikan adalah apa saja yang menenteramkan hati, sedangkan dosa (keburukan) adalah apa saja yang mengusik jiwa dan meragukan hati, meskipun banyak orang memberi fatwa yang membenarkanmu."
Hidup yang agama
Dari tujuh miliar umat manusia abad 21 ini, 16 persennya memilih atheis. Artinya, mereka yang memilih hidup dengan beragama masih lebih banyak.
Lantas, apa alasan utama kita harus beragama? Mencari selamat atau manfaat? Selamat dari apa? Manfaat bagi siapa? Jika tak memeluk agama, lantas kenapa? Padahal sebagian besar kita memulai karier beragama melalui doktrinasi-dogmatisasi orangtua. Bukan berdasar pencarian, apa pula kegelisahan.
Adakah dengan bekal agama kita serta-merta menjadi benar? Bila memang iya, kenapa sesama umat beragama malah saling menyalahkan?
Bilamana agama sumber kebijaksanaan, lalu kenapa para penganutnya saling berbalahan dan sampai berbunuhan? Andai tolok ukur menganut agama agar menjadi pemegang tunggal kebenaran, maka tak salah kiranya Hitler membentuk fasisme. Dalam hal ini, Nazi merupakan semacam ejawantah sebuah "agama" yang salah kaprah. Entahlah.
Para nabi dan rasul Tuhan terusir bahkan dibunuh oleh kaumnya, hanya kerana dianggap mengganggu kemantapan pemberhalaan berkedok ekonomi yang dikelola para pemegang kekuasaan.
Maka itulah, tak usah resah melihat agama dipolitisasi. Toh pada awal kemunculannya pun, fitnah sudah sedemikian rupa menggerogoti.
Abad demi abad perjalanan sebuah agama, selalu saja ada segelintir oknum yang memanfaatkannya sebagai mesiu pertikaian umat manusia. Tantangan sekaligus tugas kita yang utama adalah, mencari titik temu agama dalam kehidupan. Membangun landasan terkuat yang bisa menjawab apakah kita terlahir untuk beragama, atau agama yang hadir untuk kita.