JAKARTA, KOMPAS.com - Wacana yang bergulir dalam pembahasan RUU Pemilu terus menuai perhatian.
Yang menjadi fokus perhatian sepekan terakhir soal wacana pembiayaan saksi pemilu oleh negara. Jika wacana ini disepakati, anggaran yang harus dikeluarkan negara untuk biaya saksi mencapai Rp 10 triliun.
Suara penolakan pun mulai muncul.
Melalui pesan singkat, Jumat (5/5/2017), Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mengatakan, wacana ini tidak mungkin direalisasikan.
Alasannya, anggaran yang harus dikeluarkan sebesar Rp 10-15 triliun untuk sekali putaran pemilu sangat besar.
"Itukan enggak mungkin. Dicari solusi yang terbaik bagaimana lah nanti," kata dia.
Ia menegaskan, pada prinsipnya anggaran untuk para saksi tidak ada. Para saksi secara sukarela menjadi saksi di Tempat Pemungutan Suara (TPS).
"Honor saksi prinsipnya tidak ada. Karena mereka sebagai kader partai dan tim sukses atau simpatisan suka rela menjadi saksi di TPS," ujar politisi PDI Perjuangan ini.
(Baca: Pembiayaan Saksi Pemilu Harus Ditanggung Parpol, Bukan Negara)
Meski demikian, ia mengakui, para saksi membutuhan dana untuk akomodasi transportasi dan makan.
"Problema saksi ini yang jadi pikiran. Saksi tidak dibayar tapi kerja sehari dari pagi sampai sore atau malam. Perlu makan, minum dan transport yang dikalikan jumlah TPS se-Indonesia," ujar Tjahjo.
"Jadi berapa besar dana uang transport dan uang makan yang disiapkan? Padahal kadang saksi lebih dari 1-2 orang tiap TPS. Mereka dibayar kurang lebih Rp 300 ribu tiap orang," lanjut dia.
Usulan DPR keliru
Sementara itu, mantan komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, Hadar Nafis Gumay mengatakan, usulan para wakil rakyat tersebut salah kaprah.
Menurut dia, usulan tersebut tidak efisien bagi anggaran penyelenggaraan pesta demokrasi.