"Saya kira itu gagasan yang keliru kalau memang kita mau terus upayakan penyelenggaraan pemilihan yang efisien. Kita hanya perlu membiayai peran yang betul-betul efektif," kata Hadar kepada Kompas.com.
Hadar menyebutkan, setiap TPS sudah ada pengawas.
(Baca: DPR Ingin Negara Bayar Saksi Pemilu Rp 10 Triliun Sekali Pencoblosan)
"Bukankah pada setiap TPS sudah ada pengawas? Kesiapan merekalah yang perlu ditingkatkan," kata dia.
"Bukankah syarat parpol menjadi peserta pemilu haruslah parpol yang sifatnya nasional, mempunyai pengurus dan anggota di seluruh wilayah indonesia? Kenapa harus dibiayai?," lanjut dia.
Apalagi, menurut Hadar, KPU sebagai penyelenggara pemilu akan terus meningkatkan kualitas penyelenggara dan prosesnya lebih transparan.
"Semua hasil TPS, melalui salinan form C-1, akan secara cepat dan luas dipublikasikan. Kalaupun terdapat kasus permasalahan yang serius dalam pemungutan dan penghitungan suara di TPS. Tersedia mekanisme penghitungan atau pemungutan suara ulang, sebagai ruang koreksi," terang Hadar.
Akal-akalan DPR
Ketua Konstitusi dan Demokrasi (KODE) Inisiatif Veri Junaidi berpendapat, usulan tersebut hanya akal-akalan DPR untuk mengalihkan publik pada pembahasan isu-isu krusial.
"Semua kemungkinan bisa saja. Kemungkinan pertama DPR tidak fokus rampungkan RUU Pemilu. Kemungkinan kedua misalnya untuk mengalihkan perhatian publik dalam proses pembahasan bahwa ada isu lain yang akan dibahas. Itu kemungkinan-kemungkinan yang mungkin muncul," kata Veri kepada Kompas.com.
(Baca: Pansus Pemilu: Saksi Pemilu Dibiayai Pemerintah agar Saling Mengawasi)
Seharusnya, kata Veri, DPR fokus menuntaskan regulasi penyelenggaraan pemilu Sebab, karena waktunya sangat mepet dengan tahapan Pemilu 2019 yang akan berjalan mulai pertengahan tahun ini.
"Pemerintah dan DPR tidak fokus menuntaskan UU Pemilu. Tidak ada prioritas. Waktunya pendek harusnya fokus saja pada isi-isi yang penting, krusial. Misal sistem, penegakan hukum itu yang harusnya didorong dimunculkan ke publik dan dibahas serius," kata Veri.
"Bukan malah memunculkan isu usang yang sebenarnya sudah pernah dibahas, ditawarkan kepada publik kemudian ditolak," kata Veri.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.