JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Pansus RUU Pemilu Lukman Edy mengatakan, usulan agar saksi dibiayai oleh negara melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) bertujuan saling mengawasi.
Usulan ini mengemuka dalam pembahasan RUU Pemilu oleh DPR dan pemerintah.
"Karena (kalau) dibiayai Pemerintah, saksi bisa saling mengawasi. Selama ini yang terjadi, suara partai yang tidak punya saksi dicuri oleh partai yang punya saksi," kata Lukman di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (3/5/2017).
Selama ini, terutama dalam pemilihan presiden, pengeluaran pasangan calon presiden dan calon wakil presiden untuk dana saksi pemilu menghabiskan dana paling besar.
Lukman menyebutkan, pasangan calon harus menyiapkan saksi pemilu di 570 ribu Tempat Pemungutan Suara (TPS) di seluruh Indonesia.
Biaya yang dikeluarkan untuk saksi pemilu sering kali tak dilaporkan sehingga menjadi pengeluaran yang tidak bisa dipertanggungjawabkan.
(Baca: DPR Ingin Negara Bayar Saksi Pemilu Rp 10 Triliun Sekali Pencoblosan)
"Kalau partai tidak masalah. Partai memobilisasi kader dan relawan selama ini. Karena (2019) serentak, maka capres yang nanggung (biaya saksi)," ujar Politisi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) itu.
Selain itu, kata dia, jika biaya saksi pemilu dibebankan kepada masing-masing parpol, kemampuan setiap parpol untuk membiayai saksi berbeda-beda.
Jika saksi dibiayai negara, maka perlakuan terhadap saksi akan merata.
"Ada partai yang bisa beri pelatihan ke saksinya, ada saksi planga-plongo saja," kata Lukman.
Untuk teknisnya, biaya saksi tersebut akan dikelola oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Parpol hanya melakukan rekrutmen saksi.
"Nanti parpol yang setor nama ke Bawaslu, Bawaslu inventarisir, Bawaslu lakukan pelatihan sehingga kemampuannya sama," kata Lukman.
Usulan ini belum disetujui pemerintah dengan alasan kondisi keuangan negara.
"Pemerintah keberatan kalau biaya saksi dibebankan ke APBN, karena tidak cukup," kata Wakil Ketua Pansus Pemilu Ahmad Riza Patria.