Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Realisasi Penegakan HAM Era Jokowi, Lain Dulu Lain Kini...

Kompas.com - 21/02/2017, 11:11 WIB
Kristian Erdianto

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com — Sejumlah organisasi masyarakat sipil menilai saat ini sektor penegakan HAM belum menjadi perhatian pemerintahan Presiden Joko Widodo.

Menjelang tahun ketiga masa kepemimpinannya, Presiden Jokowi masih fokus pada pembangunan ekonomi dan infrastruktur. Sementara itu, di bidang HAM, belum ada langkah konkret pemerintah yang menjamin rasa keadilan bagi korban dan keluarganya.

Peneliti bidang HAM dari Setara Institute, Ahmad Fanani Rosyidi, berpendapat bahwa dari segi politik, Presiden Jokowi sedang "tersandera" dengan sosok-sosok yang diduga terlibat kasus pelanggaran berat HAM masa lalu.

Sosok-sosok tersebut berada di lingkaran terdekat Istana dan menduduki jabatan strategis. Hal itu yang menyebabkan Presiden Jokowi sulit membuat kebijakan strategis dalam menuntaskan pelanggaran berat HAM masa lalu.

"Kebijakan strategis untuk menuntaskan pelanggaran HAM masa lalu itu belum ada. Wacana penuntasan pelanggaran HAM hanya menjadi manuver politik pemerintah," ujar Rosyidi saat ditemui di kantor Setara Institute, Jakarta Selatan, Senin (20/2/2017).

(Baca: Sumarsih Anggap Jokowi Lebih Tak Manusiawi ketimbang Presiden Sebelumnya)

Rosyidi menuturkan, ketidakjelasan langkah pemerintah bisa dirunut dari wacana penyelesaian kasus Peristiwa 1965.

Pada awal 2016 lalu, Kementerian Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan sempat menggelar Simposium Nasional Membedah Tragedi 1965 dari Perspektif Sejarah.

Simposium tersebut sejatinya diinisiasi sebagai langkah awal proses rekonsiliasi antar-korban dan negara. Namun, hingga kini publik belum mengetahui hasil rekomendasi Simposium Nasional.

"Bahkan penyelesaian kasus 1965 terkesan mandek," kata Rosyidi.

Tidak lama berselang, muncul wacana pemerintah menyelesaikan kasus pelanggaran HAM masa lalu melalui jalur non-yudisial atau rekonsiliasi, terutama kasus Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II.

(Baca: Kontras Laporkan Wiranto dan Komnas HAM ke Ombudsman)

Wacana rekonsiliasi sempat diungkapkan oleh Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Wiranto, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly, dan Ketua Komnas HAM Imdadun Rahmat.

Menurut Rosyidi, wacana tersebut jelas melukai perasaan keluarga korban dan melanggar asas keadilan yang diamanatkan oleh konstitusi.

"Seperti kita tahu, konsep rekonsiliasi pernah muncul dalam bentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), kemudian dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi karena bertentangan dengan konstitusi. MK menilai KKR tidak memenuhi rasa keadilan bagi korban dan keluarganya. Artinya tidak sesuai dengan Undang-Undang Pengadilan HAM dan Konstitusi," ucapnya.

Dewan Kerukunan Nasional

Munculnya wacana rekonsiliasi kasus pelanggaran HAM masa lalu seiring dengan tercetusnya pembentukan Dewan Kerukunan Nasional (DKN) oleh Menko Polhukam Wiranto. Pembentukan DKN disepakati saat rapat paripurna kabinet yang dipimpin Presiden Joko Widodo di Istana Bogor, Rabu (4/1/2016).

Wiranto menyebut salah satu tujuan pembentukan adalah menggantikan peran KKR untuk menyelesaikan kasus pelanggaran berat HAM masa lalu. Namun, kemudian, pernyataan tersebut dia bantah.

Menurut Wiranto, kewenangan DKN hanya berada pada lingkup penyelesaian konflik horizontal di tengah masyarakat dan konflik vertikal yang terjadi antara masyarakat dan pemerintah.

Meski demikian, kata Rosyidi, masih ada kekhawatiran bahwa DKN digunakan sebagai sarana rekonsiliasi kasus HAM masa lalu.

(Baca: Datangi Istana, Kontras Protes Pembentukan Dewan Kerukunan Nasional)

"Pembentukan DKN saya rasa lebih pada manuver politik. Langkah politik yang dikeluarkan itu cenderung cari aman. Selalu, dalam proses penyelesaian pelanggaran HAM itu dipukul rata melalui jalur non-yudisial. Padahal, rekonsiliasi itu butuh pengungkapan kebenaran melalui jalur yudisial," ujarnya.

Sementara itu, Kepala Divisi Pemantauan dan Impunitas Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Feri Kusuma mengatakan, berdasarkan investigasi dan informasi yang diperoleh dari Kantor Staf Kepresidenan, ada tiga poin utama kewenangan DKN dalam draf rancangannya.

Ketiga poin tersebut adalah penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu, serta penanganan konflik horizontal dan kasus intoleransi.

Menurut Feri, pembentukan DKN tidak sesuai dengan komitmen Presiden Jokowi dalam menyelesaikan kasus pelanggaran berat HAM masa lalu.

(Baca: Jokowi Akui Belum Berhasil Selesaikan Pelanggaran HAM Masa Lalu)

Saat pidato peringatan hari HAM se-dunia, 9 Desember 2014 dan 11 Desember 2015, Presiden Jokowi menegaskan, kasus pelanggaran HAM masa lalu akan diselesaikan melalui dua jalan, yakni jalur yudisial dan non-yudisial.

Pidato tersebut ditegaskan kembali secara spesifik dalam dalam  Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2014-2019.

"Kami menolak konsep DKN yang diusulkan oleh Wiranto. DKN memiliki sejumlah cacat, tidak kredibel dan melanggar aturan. Dugaan bahwa DKN ini punya kepentingan politik pribadi Wiranto juga terlihat dalam proses penyusunan konsep dan draf-nya yang sangat tertutup dan tidak partisipatif. Korban tidak diajak bicara atau dimintai pendapat," kata Feri.

Komite Kepresidenan

Menurut Feri, dalam konteks non-yudisial, langkah yang seharusnya ditempuh adalah pembentukan Komisi Kepresidenan sebagaimana disebutkan dalam RPJMN 2014-2019.

RPJMN menunjukkan strategi penanganan kasus pelanggaran HAM masa lalu akan dilakukan melalui pembentukan komisi yang bersifat ad-hoc atautemporer, dengan tugas memfasilitasi proses pengungkapan pelanggaran HAM pada masa lalu yang berada langsung di bawah Presiden dan bertanggung jawab sepenuhnya kepada Presiden.

RPJMN juga berisi bahwa penyelesaian secara berkeadilan atas kasus pelanggaran HAM masa lalu memerlukan konsensus nasional.

(Baca: Jokowi: "PR" Kita Pelanggaran HAM Masa Lalu, Termasuk Kasus Mas Munir)

Komite Kepresidenan harus melakukan proses pengungkapan pelanggaran HAM yang dilakukan melalui serangkaian kegiatan, baik pengumpulan informasi langsung maupun dokumen untuk menyusun suatu laporan yang komprehensif mengenai berbagai kekerasan dan peristiwa pelanggaran HAM yang terjadi pada masa lalu.

"Namun, hingga kini, Komite Kepresidenan belum dibentuk oleh Presiden Jokowi," ujar Feri.

Hal senada juga diungkapkan oleh Wakil Ketua Setara Institute Bonar Tigor Naipospos. Bonar mengatakan, seharusnya Presiden Jokowi segera membentuk Komite Kepresidenan ketimbang menyetujui pembentukan DKN yang dinilai belum terlalu mendesak.

Saat ini sudah ada mekanisme hukum untuk menyelesaikan konflik horizontal ataupun vertikal yang terjadi di masyarakat. Sementara itu, untuk kasus pelanggaran HAM, belum ada instrumen konkret yang bisa digunakan, selain Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

Selain itu, pembentukan Komite Kepresidenan juga menjadi realisasi janji Presiden Jokowi dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM, sebagaimana diserukan saat kampanye Pilpres Jokowi kepada keluarga korban.

"Itu janji politik yang harus ditepati oleh Jokowi karena sebagian masyarakat yang memilih Jokowi adalah mereka yang menjadi korban pelanggaran HAM. Mereka percaya, Jokowi bisa membawa perubahan. Kalau kasus HAM tidak diselesaikan, tentu akan membuat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahan Jokowi akan menurun," ucap Bonar.

Kompas TV Tragedi 65, Luhut: Tak Terpikir untuk Minta Maaf
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com