JAKARTA, KOMPAS.com - Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi) merilis hasil refleksi akhir tahun 2016. Salah satu poin yang disoroti adalah terkait kinerja legislasi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di sepanjang tahun 2016.
Peneliti Formappi, I Made Leo Wiratma menyebutkan, DPR kerap bertahan pada mekanisme perencaan legislasi yang "sekadar banyak", namun terlihat kehilangan arah dan orientasi pembahasan.
Perencanaan tidak disesuaikan dengan prioritas kebutuhan bangsa dan mudah mengalami perubahan dalam proses selanjutnya.
Sepanjang 2016, DPR telah tiga kali melakukan perubahan daftar Prolegnas. Perubahan terakhir, DPR memasukkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) untuk menambahkan satu pimpinan DPR dan MPR.
Revisi terbatas tersebut guna mengakomodasi usulan PDI Perjuangan yang merasa layak mendapat kursi pimpinan DPR karena menjadi pemenang pemilu legislatif 2014.
"DPR akan bekerja sigap jika menyentuh kepentingannya sendiri, sementara begitu lambat ketika menyangkut kepentingan rakyat," kata Made Leo di Kantor Formappi, Matraman, Jakarta Timur, Kamis (22/12/2016).
(Baca: Formappi: Sepanjang 2016, DPR Banyak Berbuat Suka-suka)
Lolosnya revisi UU MD3 masuk dalam Prolegnas dianggap menunjukkan bahwa pembentukan legislasi cenderung didasarkan pada kompromi-kompromi politik antarpartai yang sarat dengan kecenderungan transaksional.
Terlebih, pembahasan revisi terbatas UU MD3 seolah dilakukan kilat. Padahal, banyak RUU lain yang dianggap lebih penting bagi masyarakat.
Dari segi produktivitas, secara kuantitatif mengalami peningkatan dibanding tahun sebelumnya. Pada 2015, DPR hanya menghasilkan 3 RUU dari total 40 RUU Prolegnas atau 7,5 persen.
Sedangkan tahun ini, DPR mampu menyelesaikan 10 RUU dari total 51 RUU Prolegnas atau 19,6 persen. Meski meningkat, RUU yang dihasilkan belum mencapai seperempat dari perencanaan.
(Baca juga: DPR dan Gaduhnya Pembahasan Rancangan Undang-Undang...)
Namun, produk legislasi DPR tertolong oleh daftar RUU Kumulatif Terbuka yang jumlahnya dianggap signifikan.
Pada 2015, DPR mengesahkan 14 RUU Kumulatif Terbuka. Sedangkan tahun ini mengesahkan 9 RUU Kumulatif Terbuka.
Made Leo mengatakan, ke depannya, rangkaian kompromi politik dalam pembahasan UU masih mungkin berlanjut. Misalnya terkait Rancangan Undang-Undang Terorisme (RUU Terorisme).
"Maka bersiaplah jika sebagian besar UU yang dihasilkan DPR akan sangat pro kepentingan politik sesaat sekaligus menyingkirkan kepentingan rakyat yang diwakili," kata dia.