JAKARTA, KOMPAS.com — Wakil Ketua Komisi III Trimedya Panjaitan mempertanyakan alasan polisi menangkap Sri Bintang Pamungkas, Ratna Sarumpaet, Rachmawati Soekarnoputri, dan beberapa orang lainnya sebelum pelaksanaan doa bersama 2 Desember 2016.
Menurut Trimedya, jikapun ditangkap, itu seharusnya saat mereka hendak menjalankan aksi. Misalnya, saat menunggangi massa doa bersama yang terkonsentrasi di lapangan silang Monumen Nasional.
"Kok pagi-pagi ditangkap, kan tidak kondusif, sebenarnya bisa saja ditangkap. Yang harus dijaga Kapolri yaitu jangan ada kesan kita seperti saat rezim Soeharto, penangkapan aktivis dilakukan secara represif. Kurang menjunjung asas-asas kemanusiaan," kata Trimedya di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (5/12/2016).
(Baca: Yakin Suami Tak Lakukan Makar, Istri Sri Bintang Tetap Mendukungnya)
Politisi PDI-P itu menambahkan, polisi pun harus menjelaskan kepada publik ihwal penangkapan orang-orang yang diduga berencana melakukan makar.
Jika tidak, aroma kesewenang-wenangan itu akan semakin terasa. "Apakah memang seberbahaya itu Sri Bintang? Dihitung dulu seperti apa berbahayanya, sembari ada penegakan hukum dengan penangkapan sebagai antisipasi kami setuju. Namun, jelaskan dulu seberapa bahaya sehingga disebut makar," lanjut Trimedya.
Sebelumnya, penyidik Polri menangkap 11 orang sebelum pelaksanaan aksi doa bersama, Jumat (2/12/2016) lalu.
(Baca: Rawan Penyalahgunaan Wewenang, Pasal Makar dalam KUHP Perlu Direvisi)
Ketujuh orang itu adalah Kivlan Zein, Adityawarman, Ratna Sarumpaet, Firza Huzein, Eko, Alvin Indra, dan Rachmawati Soekarnoputri. Mereka disangka melanggar Pasal 107 juncto Pasal 110 juncto Pasal 87 KUHP.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.