JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla selama dua tahun dinilai lambat dalam melakukan reformasi hukum.
Hal itu dianggap karena masih adanya warisan para pejabat yang memimpin di lingkungan peradilan kebanyakan orang-orang jahat.
"Praktik dunia peradilan kini masih banyak yang melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme membuktikan kebenaran pendapat para pengamat bahwa pemerintahan Jokowi tidak mudah melakukan reformasi hukum selama masih adanya pejabat lama yang bercokol dalam pemerintahannya," kata anggota Hakim Agung, Topane Gayus Lumbuun, dalam diskusi hukum, dua tahun pemerintahan Jokowi - JK di Jakarta, Kamis (20/10/2016), seperti dikutip Antara.
Gayus mengutip pendapat Jeffry Winter, pengamat politik dan hukum dari Northwestern AS yang menyebutkan bahwa reformasi memang berhasil membawa Indonesia sebagai negara cukup demokratis ketika pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono.
(baca: Jokowi Bicara Pemberantasan Pungli, Para Gubernur Mengangguk-angguk)
Namun, sayangnya tidak diikuti oleh penguatan pada reformasi hukum, sehingga jika hal itu tidak dilaksanakan maka akan mewarisi pada pemerintahan berikutnya.
Oleh karenanya, kata Gayus, pendapat itu membuktikan kondisi kini bahwa belum berjalannya reformasi hukum seperti yang disampaikan Jokowi dalam Nawa Citanya.
Masih banyak orang-orang jahat yang kini masih berada di lingkup kekuasaan khususnya di kalangan pengadilan.
Menurut Gayus, berdasarkan survei, indeks penegakan hukum di Indonesia masih sangat rendah, yaitu berada di tingkat 52 dari 102 negara dunia.
(baca: Jokowi: Serupiah Pun Akan Saya Urus kalau Pungli!)
Oleh karenanya, setelah sukses melakukan berbagai program ekonomi, termasuk meluncurkan program Tax Amnesty, Presiden Jokowi akan mulai mereformasi bidang hukum dalam pemberantasan korupsi dan pungutan liar yang masih menjamur di negara Indonesia.
"Jangan dilihat kecilnya nilai pungutan liar itu, tetapi hadirnya Jokowi dalam penangkapan Pungli di lingkungan Departemen Perhubungan belum lama ini hanya memberikan sinyal bahwa dia akan mulai masuk membereskan pungli-pungli itu karena untuk yang korupsi sudah didelegasikan ke lembaga KPK," kata Gayus yang juga mantan Komisi III DPR itu.
Senada dengan itu, Saldi Isra mengatakan, tidak mudah mengukur keberhasilan Jokowi dalam melakukan reformasi bidang hukum selama dua tahun pemerintahannya.
Program ekonomi mudah dapat dilihat indikator dan keberhasilannya. Namun, untuk hukum tidak cukup jika hanya dilihat selama dua tahun berjalan ini.
(baca: 105 Pejabat Daerah Diberi Sanksi karena Terlibat Pungli dan Korupsi)
Namun, kata Saldi, selama dua tahun ini, belum ada indikator yang mengarah pada refomasi hukum secara jelas. Mungkin saja pada tahun ketiga ini Jokowi akan serius dan terlihat hasilnya.
Saldi menambahkan, pada tahun pertama, Jokowi sibuk melakukan konsolidasi politik ke DPR guna meningkatkan dukungannya.
Adapun tahun kedua menyasar sektor ekonomi. Pada tahun ke tiga, publik bisa menagih janji yang dimuat dalam Nawa Cita agar segera diwujudkan.
"Terus terang saja, program hukum di Nawa Cita sangat rinci dibanding program hukum Presiden sebelumnya. Namun, jika hal itu tidak dilaksanakan, maka akan terjadi sama saja, bahwa Indonesia akan gagal membangun budaya hukum, atau legal culture yang masih mandeg," ujarnya.