Seperti apa peristiwa detik-detik proklamasi kemerdekaan Indonesia? “Terlalu banyak tersiar cerita dan karangan yang yang tidak benar,” begitu kata Bung Hatta.
Ketika Hatta menyatakan itu usia Republik Indonesia baru enam tahun. Orang-orang yang hadir di sekitar peristiwa yang disebut Bung Karno maha penting itu pun masih hidup.
Tetapi, Hatta sudah melihat ada upaya-upaya mencampur “Legende dan Realitet Sekitar Proklamasi 17 Agustus” sebagaimana ditulisnya dalam majalah Mimbar Indonesia untuk menyambut ulang tahun kemerdekaan 17 Agutus 1951.
Apakah sejak Hatta melancarkan kritik keras ihwal proklamasi yang sejarahnya diliputi kabut mitos itu perlahan lenyap? Tidak.
Pada 1970, Hatta masih menyuarakan hal yang sama. Malahan ia melihat kabut “legende dan realitet” itu semakin menebal.
Sebab itu Hatta memerlukan diri meluaskan tulisannya di Mimbar Indonesia dengan riset selama enam bulan di Honolulu pada 1968, kemudian menerbitkannya menjadi buku Sekitar Proklamasi pada 1970, saat ulang tahun kemerdekaan ke-25.
Tetapi, apakah kini selang 46 tahun kemudian di ulang tahun kemerdekaan ke-71 sejarah di sekitar proklamasi semakin terang?
Ada yang bilang sejarah adalah sumber inspirasi tumbuhnya mitos. Dan sampai kini mitos terus tumbuh di sekitar proklamasi yang disebut Hatta sebagai kejadian besar yang menentukan jalan sejarah Indonesia itu.
Lantas kemana para sejarawan yang diharapkan Hatta dengan hasil penyelidikan akademisnya akan menjernihkan dan membimbing masyarakat Indonesia melihat realita sejarah di sekitar proklamasi? Apakah harapan Hatta itu kanda?
Harapan Hatta itu sebenarnya terkabul. Penulisan sejarah zaman Jepang di Indonesia yang berkait langsung dengan sekitar proklamasi berkembang. Bahkan karya-karya sejarawan Aiko Kurasawa yang tersohor serius meriset soal itu telah diterjemahkan, seperti Kuasa Jepang di Jawa dan terakhir Masyarakat dan Perang Asia Timur Raya.
Melalui buku-buku ini dan beberapa artikelnya Aiko menjelaskan bagaimana Sukarno-Hatta bukan bekerjasama, tetapi memanfaatkan kekuasaan Jepang.
Sukarno-Hatta melihat bahaya kemanusiaan yang jauh lebih besar jika mereka menolak ikut Jepang. Dari langkah Quezon pimpinan Philipina mereka belajar pura-pura ikut Jepang demi keselamatan bangsa.
Aiko juga menganalisis bagaimana Sukarno memanfaatkan film sebagai medium propaganda Jepang untuk menggalang nasionalisme Indonesia.
Pidato-pidato Sukarno selama zaman Jepang menurut Aiko memperlihatkan bagaimana Sukarno berhasil meminggirkan “pesan sponsor”. Dalam usaha menggerakkan hati rakyat, Sukarno memilih kata-kata tidak berbau fasisme dan netral dari propaganda menyukseskan kepentingan Jepang.
Tetapi, juga bukan kata-kata yang menyinggung perasaan tentara Jepang. Misalnya, dia selalu memakai kata kesejahteraan, kebahagiaan, kemuliaan bangsa, ketimbang kemerdekaan bangsa.