Sukarni pun diam ketika teks proklamasi sedang ditulis Sukarno sementara Hatta mendiktekan. Sukarno yang menyusun kata-kata yang disetujui semua dan kemudian menjadi teks resmi proklamasi: “Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia. Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lainnya diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya”.
Sejarah dari hasil pencarian akademis yang kritis dan sudah diterima kebenarannya atau accepted history kini diabaikan. Saking abai sampai-sampai ada yang mengaku menjadi pengibar bendera saat proklamasi, bukan saja dipercayai malahan dihargai oleh pemerintah Jakarta.
Ikhtiar menemukan foto-foto peristiwa lahirnya Republik Indonesia bukan dilakukan oleh pemerintahnya, tetapi individu-individu yang merasa penting mengingat peran bersaudara Mendur. Di Jalan Pegangsaan ada tiga tugu proklamasi, tetapi tidak jelas manakah di antaranya yang menandakan tempat Sukarno berdiri membacakan teks proklamasi.
Sejumlah besar gambar dan foto rumah Sukarno di Pegangsaan yang dibuat Henk Ngatung pun tak tentu rimbanya, sehingga sumber untuk mendirikan ulang rumah proklamasi itu pun bukan saja terkendala emohnya pemerintah tetapi juga sumber rekonstruksi.
Sungguh semrawut sejarah dan artefak di sekitar proklamasi. Sungguh kecil perhatian terhadapnya. Hatta pernah berseloroh jika ada yang bilang sejarah adalah cermin diri, maka bukan tidak mungkin realisasi cita-cita proklamasi yang tidak pernah sungguh-sungguh diusahakan itu berkaitan dengan betapa tidak bersungguh-sungguhnya negara dengan sejarah di sekitar proklamasi.
Jangan aneh jika kian hari kian terasa cita-cita proklamasi tinggal menjadi dongengan ketimbang realita.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.