Sebaliknya ia malah berhasil mengambil hati pemerintah Jepang, sampai-sampai Kaisar Hirohito keluar dari kebiasaan dengan menjabat tangan Sukarno ketika pada November 1943 ke Jepang.
Sukarno pun kadang-kadang bersikap keras kepada Jepang. Ketika “janji kemerdekaan di kemudian hari” yang diumumkan Perdana Menteri Koiso pada September 1944 ternyata tidak serius, Sukarno marah besar sehingga menakutkan Miyoshi, pejabat Gunseikanbu.
Alhasil dibentuklah BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia). Pada saat yang bersamaan Sukarno juga mengirim surat kepada pelajar-pelajar Indonesia di Jepang bahwa ia tak percaya kemerdekaan akan diberikan Jepang, tetapi harus direbut dengan perjuangan.
Hal yang sama berlaku pada Hatta. Ia dianggap pembangkang. Hatta pernah dibawa Kenpetai ke Puncak Pass untuk dibunuh. Ada niat Hatta tidak akan dipulangkan ketika ke Jepang.
Pendek kata, Aiko telah membenarkan penyataan Sukarno dalam pidato singkat sebelum proklamasi dibacakannya: “Di dalam zaman Jepang itu tampaknya saja kita menyandarkan diri pada mereka. Tetapi, pada hakekatnya, tetap kita menyusun tenaga kita sendiri, tetap kita percaya kepada kekuatan sendiri”.
Demikianlah seharusnya pudar mitos ihwal Sukarno-Hatta kolaborator Jepang yang disulut Sjahrir sejak terbit bukunya "Perjuangan Kita pada 1945" .
Apalagi ditemukan fakta bahwa setelah bertemu Imamura pada Juli 1942 yang mengajak membantu Jepang kemudian Sukarno-Hatta berkumpul selama beberapa hari dengan beberapa tokoh pergerakan, termasuk Sjahrir yang menyarankan agar membagi tugas. Sukarno-Hatta ikut Jepang dan ia bergerak bersama para pemuda di bawah tanah.
Aiko menegaskan adalah keliru jika menganggap kemerdekaan pemberian apalagi hadiah Jepang atau hasil konsesi kepada Sekutu. Kemerdekaan Indonesia adalah buah usaha orang Indonesia.
Arsip rahasia Jepang membuktikan bahwa mereka tidak pernah berniat memberikan kemerdekaan kepada Indonesia, seperti kepada Filipina dan Birma.
Sesat jika bilang ada peran pemerintah Jepang dalam kemerdekaan Indonesia. Kalau pun ada bantuan maka itu dari individu-individu Jepang.
Sebab itu dapat dimengerti mengapa Sudiro dalam biografinya "Sudiro Pejuang Tanpa Henti" menyebut mereka sebagai keajaiban Tuhan.
Dapat pula dipahami mengapa Sukarno sesudah Indonesia merdeka terus bersahabat dan membantu orang-orang Jepang yang bersimpati terhadap bangsa Indonesia, seperti Imamura ketika ditahan dan diancam hukuman mati sebagai penjahat perang. Juga kepada Maeda yang bernasib kurang baik pasca perang.
Rupanya perkembangan historiografi itu menapak di jalan sunyi. Ini tercermin pada bermunculannya sejumlah buku, bahkan film sejarah seperti "Soekarno Indonesia Merdeka" dan "Sang Kyai" yang di dalamnya menyiratkan Indonesia merdeka adalah pemberian pemerintah Jepang.
Demikianlah dongengan sekitar proklamasi kini merasuk jauh lebih dalam dari yang dihadapi Hatta dulu. Sebab tidak lagi sekadar menghadapi dongengan di sekitar proklamasi pada “apa, siapa, di mana, bila” yang disebut Hayden White sebagai kronikel, seperti tercermin dalam salah satu soal yang ditimbulkan Muhammad Dimyati dan Adam Malik, Mohammad Roem, Ahmad Subardjo dan Sukarni.
Menurut Hatta, adalah Sukarno yang memberikan kalimat penghabisan tentang isi teks proklamasi. Bukan Sajuti Melik. Sajuti tidak memecahkan kesulitan ketika terjadi perdebatan di tengah hadirin terkait usulan Sukarni agar teks proklamasi di bagian bawah menggunakan kalimat: “Bahwa dengan ini rakyat Indonesia menyatakan kemerdekaannya. Segala badan-badan yang ada harus direbut dari orang asing yang masih mempertahankannya”.