Partai Golkar adalah partai tertua sekarang ini. Kalau dihitung sejak pendirian Sekretaris Bersama (Sekber) pada tahun 1964, berarti usianya menapak pada angka 52 tahun. Lebih dari setengah abad.
Dari sisi pengalaman, tiada satu partai politik pun yang mampu menandinginya. Pengalaman berkuasanya saja lebih tiga dekade di sepanjang era Orde Baru.
Namun, tidak seperti kodrati manusia berusia tua, tambah usia justru tidak makin bijak. Puluhan tahun tidak ada gejolak saat di bawah Soeharto, tetapi memasuki era reformasi, Golkar seakan bergejolak sepanjang masa.
Tahun-tahun belakangan ini, Golkar tak ubahnya arena ring tinju. Selalu gaduh. Badai bertiup kencang membuat beringin bergoyang-goyang tanpa henti. Pertikaian antar faksi benar-benar menjadi konflik terbuka.
Cermati saja sengketa antara kubu Munas Bali yang dipimpin Aburizal Bakrie dan kubu Munas Jakarta yang dipimpin Agung Laksono. Lebih setahun dua kubu itu saling serang, berebut kantor, berebut kursi kekuasaan di DPR, saling gugat ke pengadilan.
Seandainya saja tidak ada pilkada serentak pada Desember 2015, bisa jadi mereka belum pernah duduk satu meja. Tetapi demi kepentingan merebut posisi-posisi di daerah-daerah, dua kubu itu akhirnya berkantor di tempat sama.
Itulah politik, kepentinganlah yang membuat mereka "bersatu". Dari 208 daerah yang menggelar pilkada, Golkar hanya mampu menang di 49 daerah. Dari 630 pasangan calon, Golkar cuma menang 116 pasangan.
Hasil pilkada 2015 memang tidak memuaskan. Dibanding partai-partai lain yang relatif baru, Golkar begitu terpuruk. Ada beberapa jawaban untuk membaca kekalahan tersebut. Pertama, konflik internal yang melelahkan. Sejak akhir 2014, berita mengenai Golkar selalu disuguhi berita negatif.
Kedua, karena konflik tersebut, mesin partai pun tidak bekerja optimal. "Bersatunya" dua kubu tersebut tidak cukup waktu untuk memanaskan dan menggerakkan mesin partai yang selama setahun berjalan masing-masing.
Ketiga, kasus "papa minta saham" PT Freeport Indonesia yang melibatkan Setya Novanto, politisi Golkar yang juga Ketua DPR, bagaimana pun juga telah mempengaruhi reputasi dan elektabilitas Golkar.
Karena itu, hasil pilkada tersebut harusnya menjadi catatan dan pelajaran bagi Golkar. Jika tak ingin nasib pemilu 2019 serupa seperti pilkada 2015, Golkar harus berbenah. Tetapi, pembenahan Golkar tampaknya tidak mulus.
Masing-masing kubu sepertinya belum benar-benar cair. Sekarang ini masih terlihat sikap belum tulus ketika pemerintah membatalkan Munas Jakarta di satu sisi lain dan tidak mengesahkan Munas Bali di sisi lainnya.
Opsi pemerintah adalah menghidupkan kepengurusan Munas Riau tahun 2009: Aburizal Bakrie sebagai ketua umum dan Agung Laksono sebagai wakil ketua umum. Sampai di sini, kedua kubu tampaknya menerima. Masing-masing kubu sudah duduk bersama-sama. Rencananya Munas segera digelar pada April mendatang.
Namun, rupanya masih ada ganjalan. Sebab, proses hukum masih berlangsung di Mahkamah Agung. Sebagai kelanjutan proses gugat-menggugat di pengadilan, kasusnya kini berada di tingkat kasasi MA, setelah putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara memenangkan Munas Bali.
Bisa jadi ada pihak-pihak yang tengah menanti kasasi MA tersebut. Tentu saja mereka yang diuntungkan dengan putusan itu.