Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Dr M Subhan SD
Direktur PolEtik Strategic

Direktur PolEtik Strategic | Founder Mataangindonesia Social Initiative | msubhansd.com | mataanginsaguling.com

Golkar di Antara Konflik, Kursi Kekuasaan, dan Politik Uang

Kompas.com - 29/02/2016, 15:03 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorWisnu Nugroho A


Partai Golkar adalah partai tertua sekarang ini. Kalau dihitung sejak pendirian Sekretaris Bersama (Sekber) pada tahun 1964, berarti usianya menapak pada angka 52 tahun. Lebih dari setengah abad.

Dari sisi pengalaman, tiada satu partai politik pun yang mampu menandinginya. Pengalaman berkuasanya saja lebih tiga dekade di sepanjang era Orde Baru.

Namun, tidak seperti kodrati manusia berusia tua, tambah usia justru tidak makin bijak. Puluhan tahun tidak ada gejolak saat di bawah Soeharto, tetapi memasuki era reformasi, Golkar seakan bergejolak sepanjang masa.

Tahun-tahun belakangan ini,  Golkar tak ubahnya arena ring tinju. Selalu gaduh. Badai bertiup kencang membuat beringin bergoyang-goyang tanpa henti. Pertikaian antar faksi benar-benar menjadi konflik terbuka.

Cermati saja sengketa antara kubu Munas Bali yang dipimpin Aburizal Bakrie dan kubu Munas Jakarta yang dipimpin Agung Laksono. Lebih setahun dua kubu itu saling serang, berebut kantor, berebut kursi kekuasaan di DPR, saling gugat ke pengadilan.

Seandainya saja tidak ada pilkada serentak pada Desember 2015, bisa jadi mereka belum pernah duduk satu meja. Tetapi demi kepentingan merebut posisi-posisi di daerah-daerah, dua kubu itu akhirnya berkantor di tempat sama.

Itulah politik, kepentinganlah yang membuat mereka "bersatu". Dari 208 daerah yang menggelar pilkada, Golkar hanya mampu menang di 49 daerah. Dari 630 pasangan calon, Golkar cuma menang 116 pasangan. 

Hasil pilkada 2015 memang tidak memuaskan. Dibanding partai-partai lain yang relatif baru, Golkar begitu terpuruk. Ada beberapa jawaban untuk membaca kekalahan tersebut. Pertama, konflik internal yang melelahkan. Sejak akhir 2014, berita mengenai Golkar selalu disuguhi berita negatif. 

Kedua, karena konflik tersebut, mesin partai pun tidak bekerja optimal. "Bersatunya" dua kubu tersebut tidak cukup waktu untuk memanaskan dan menggerakkan mesin partai yang selama setahun berjalan masing-masing.

Ketiga, kasus "papa minta saham" PT Freeport Indonesia yang melibatkan Setya Novanto, politisi Golkar yang juga Ketua DPR, bagaimana pun juga telah mempengaruhi reputasi dan elektabilitas Golkar. 

Karena itu, hasil pilkada tersebut harusnya menjadi catatan dan pelajaran bagi Golkar. Jika tak ingin nasib pemilu 2019 serupa seperti pilkada 2015, Golkar harus berbenah. Tetapi, pembenahan Golkar tampaknya tidak mulus.

Masing-masing kubu sepertinya belum benar-benar cair. Sekarang ini masih terlihat sikap belum tulus ketika pemerintah membatalkan Munas Jakarta di satu sisi lain dan tidak mengesahkan Munas Bali di sisi lainnya. 

Opsi pemerintah adalah menghidupkan kepengurusan Munas Riau tahun 2009: Aburizal Bakrie sebagai ketua umum dan Agung Laksono sebagai wakil ketua umum. Sampai di sini, kedua kubu tampaknya menerima. Masing-masing kubu sudah duduk bersama-sama. Rencananya Munas segera digelar pada April mendatang. 

Namun, rupanya masih ada ganjalan. Sebab, proses hukum masih berlangsung di Mahkamah Agung. Sebagai kelanjutan proses gugat-menggugat di pengadilan, kasusnya kini berada di tingkat kasasi MA, setelah putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara memenangkan Munas Bali.

Bisa jadi ada pihak-pihak yang tengah menanti kasasi MA tersebut. Tentu saja mereka yang diuntungkan dengan putusan itu.

Jika kasasi MA ini keluar, tentu bisa menimbulkan masalah baru. Kesepakatan yang telah dibuat bisa mentah lagi. Andai kubu Munas Bali dimenangkan kembali, maka Munas pada April nanti dipegang kubu Munas Bali. Ini agak runyam. Jika Munas Bali hidup kembali, bagaimana posisi Munas Riau? 

Agak runyam ya jika persoalan politik diselesaikan dengan jalur hukum. Begitulah watak partai politik di Indonesia. Kalau beda pendapat, terus berkonflik, lalu berlanjut ke proses hukum gugat-menggugat. Berpolitik memang membutuhkan kemampuan lobi luar biasa atau kemampuan saling mempengaruhi.

Politik Uang 
Lupakan dulu ganjalan proses hukum itu. Persiapan Munas mungkin lebih menarik, terutama terkait siapa yang bakal memimpin partai berlambang beringin tersebut. Ada sejumlah nama yang sudah digadang-gadangkan untuk bertarung di arena Munas nanti.

Ada  Airlangga Hartarto, Setya Novanto, Syahrul Yasin Limpo, Idrus Marham, Ade Komarudin, Aziz Syamsuddin, dan nama-nama lain bakal menyusul. 

Rata-rata mereka atau tim suksesnya sudah "bergerilya" ke daerah-daerah, bertemu dewan pengurus daerah (DPD). Biasanya setiap pencalonan untuk merebut pimpinan partai, selalu saja dibayangi politik uang.

Jika ditanya semua kandidat akan menolak politik uang, tetapi pada kenyataannya sulit menolak. Lalu dibungkuslah dengan dalih "uang transpor atau uang penginapan". Padahal sama-sama uangnya. Jurus tipu-tipu saja. 

Kekuatan uang, gizi politik, atau logistik sekarang menjadi faktor penting. Tanpa gizi politik, barangkali kursi nomor satu di partai tidak dapat direbut. Naiknya Jusuf Kalla pada tahun 2004 dan Aburizal Bakrie pada 2009 mustahil juga jika tidak didukung dengan kekuatan uang. Menjelang Munas sekarang saja, sudah terdengar nyaring kekuatan uang bermain.

Fungsionaris Golkar Nurdin Halid berkoar-koar bahwa ada kandidat yang memberi DPD senilai 10.000 dollar Singapura. 

Di panggung politik, main uang mungkin sudah lumrah. Tetapi kalau mau mencari bukti tentu tidak mudah. Hanya saja, kasus-kasus yang melibatkan politisi terseret ke meja hijau, semuanya terkait uang. Jadi di hilirnya bisa terlihat jelas. Namun, di bagian hulu bagaimana terjadinya politik uang, bukan masalah gampang membuktikannya.

Berapa politisi sih yang mau mengungkap ke publik jika bicara politik uang? Dalam kasus seperti ini, jadi  teringat politisi PDI-P yang anggota DPR Agus Condro dengan kasus suap dalam pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI) Miranda Goeltom, sekitar lima tahun lalu.

Agus Condro yang menjadi wishtleblower itu dihukum satu tahun tiga bulan. Tanpa pengakuan Agus Condro mungkin kasus itu pun tak pernah terungkap. Jadi politik uang seperti -- maaf -- kentut, baunya menyengat tetap sulit dibuktikan. 

Begitulah uang menjadi daya tarik luar biasa untuk merebut kursi kekuasaan. Di negeri kita ini, dikenal istilah "serangan fajar", sebuah ungkapan bagi-bagi uang beberapa saat sebelum pemilihan dilakukan. Apakah Munas Golkar nanti tidak ada politik uang karena rata-rata kader Golkar berteriak menolak politik uang? 

Meskipun kita berharap baik (khusnuzon) tetapi siapa yang dapat menjamin uang tidak bermain di arena Munas. Tampaknya para politisi tidak mudah keluar dari lingkaran setan politik uang, jika tidak ada komitmen dan integritas yang kuat. Dalam perjalanan politik di negeri ini, karut-marut partai dan politisinya sudah keterlaluan.

Rasanya rakyat sudah lelah melihat para politisinya selalu bertikai dan korup. Rakyat sudah menyadari bahwa para politisi lebih mengurus diri pribadi, kroni, golongan, dan partai sendiri.  Dan, Golkar yang paling tua dapat menebus "dosa masa lalu" dengan memperbaiki diri, introspeksi, bekerja lebih jujur, transparan, dan akuntabel pada masyarakat dan negara ini sebagai partai modern.

Bintaro, 29 Februari 2016

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

PPDS Berbasis Rumah Sakit, Jurus Pemerintah Percepat Produksi Dokter Spesialis

PPDS Berbasis Rumah Sakit, Jurus Pemerintah Percepat Produksi Dokter Spesialis

Nasional
Polisi dari 4 Negara Kerja Sama demi Tangkap Gembong Narkoba Fredy Pratama

Polisi dari 4 Negara Kerja Sama demi Tangkap Gembong Narkoba Fredy Pratama

Nasional
Soal Peluang Duetkan Anies-Ahok, PDI-P: Masih Kami Cermati

Soal Peluang Duetkan Anies-Ahok, PDI-P: Masih Kami Cermati

Nasional
KPK Kembali Panggil Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor, Singgung Jemput Paksa

KPK Kembali Panggil Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor, Singgung Jemput Paksa

Nasional
Hamas Minta JK Turut Serta dalam Upaya Damai di Palestina

Hamas Minta JK Turut Serta dalam Upaya Damai di Palestina

Nasional
KPU Pertanyakan Klaim PPP Kehilangan 5.000 Suara di Sulsel

KPU Pertanyakan Klaim PPP Kehilangan 5.000 Suara di Sulsel

Nasional
KPU Bantah Dalil Sengketa Irman Gusman yang Ngotot Maju DPD

KPU Bantah Dalil Sengketa Irman Gusman yang Ngotot Maju DPD

Nasional
Kontak Senjata hingga Penyanderaan Pesawat, Rintangan Pemilu 2024 di Papua Tengah Terungkap di MK

Kontak Senjata hingga Penyanderaan Pesawat, Rintangan Pemilu 2024 di Papua Tengah Terungkap di MK

Nasional
Jaksa KPK Sebut Dana Rp 850 Juta dari SYL ke Nasdem untuk Keperluan Bacaleg

Jaksa KPK Sebut Dana Rp 850 Juta dari SYL ke Nasdem untuk Keperluan Bacaleg

Nasional
Nostalgia Ikut Pilpres 2024, Mahfud: Kenangan Indah

Nostalgia Ikut Pilpres 2024, Mahfud: Kenangan Indah

Nasional
Gibran Beri Sinyal Kabinet Bakal Banyak Diisi Kalangan Profesional

Gibran Beri Sinyal Kabinet Bakal Banyak Diisi Kalangan Profesional

Nasional
Menag Bertolak ke Saudi, Cek Persiapan Akhir Layanan Jemaah Haji

Menag Bertolak ke Saudi, Cek Persiapan Akhir Layanan Jemaah Haji

Nasional
Ide 'Presidential Club' Prabowo: Disambut Hangat Jokowi dan SBY, Dipertanyakan oleh PDI-P

Ide "Presidential Club" Prabowo: Disambut Hangat Jokowi dan SBY, Dipertanyakan oleh PDI-P

Nasional
Ganjar Pilih Jadi Oposisi, PDI-P Dinilai Hampir Dipastikan Berada di Luar Pemerintahan Prabowo

Ganjar Pilih Jadi Oposisi, PDI-P Dinilai Hampir Dipastikan Berada di Luar Pemerintahan Prabowo

Nasional
Jemaah Haji Kedapatan Pakai Visa Non-Haji, Kemenag Sebut 10 Tahun Tak Boleh Masuk Arab Saudi

Jemaah Haji Kedapatan Pakai Visa Non-Haji, Kemenag Sebut 10 Tahun Tak Boleh Masuk Arab Saudi

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com