JAKARTA, KOMPAS.com — Juru Bicara Koalisi Merah Putih (KMP) Tantowi Yahya mengatakan, pihaknya bersyukur atas putusan Mahkamah Konstitusi terkait uji materi UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3). Dengan ditolaknya uji materi yang diajukan PDI Perjuangan itu, parlemen periode 2014-2019 akan dikuasai KMP.
"Kekuatan parlemen akan dimiliki KMP. Pucuk pimpinan dan alat kelengkapan Dewan akan diisi oleh kader-kader KMP," kata Tantowi di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (30/9/2014).
Tantowi mengatakan, KMP telah sepakat bahwa kursi ketua DPR selanjutnya menjadi milik Fraksi Partai Golkar. Adapun kursi ketua MPR belum disepakati.
"Setiap parpol di KMP sedang penggodokan, dianalisis mengenai siapa saja yang akan ditempatkan di unsur pimpinan MPR, DPR, dan alat kelengkapan Dewan," kata Ketua DPP Golkar itu.
Sebelumnya, MK memutuskan menolak semua permohonan uji materi UU MD3 yang diajukan PDI Perjuangan. Dengan demikian, PDI Perjuangan sebagai pemenang Pemilu Legislatif 2014 tidak otomatis mendapatkan posisi ketua DPR periode 2014-2019.
Mahkamah berpendapat, alasan pemohon tidak berdasar bahwa konfigurasi pimpinan DPR haruslah mencerminkan konfigurasi pemenang pemilu dengan alasan menghormati kedaulatan rakyat yang memilih. Pasalnya, pemilu adalah untuk memilih anggota DPR, DPD, presiden, dan wakil presiden, serta DPRD, bukan untuk memilih pimpinan DPR.
Menurut Mahkamah, masalah pimpinan DPR menjadi hak dan kewenangan anggota DPR terpilih untuk memilih pimpinannya yang akan memimpin lembaga DPR. Hal itu dianggap lazim dalam sistem presidensial dengan sistem multipartai karena konfigurasi pengelompokan anggota DPR berubah ketika berada di DPR berdasarkan kesepakatan masing-masing.
Berbeda halnya dengan sistem presidensial dengan dua partai politik, yang secara otomatis fraksi partai politik dengan jumlah anggota terbanyak menjadi ketua DPR. Kalaupun dipilih, hasil pemilihannya akan sama karena dipastikan partai politik mayoritas akan memilih ketua dari partainya.
"Dalam praktik politik di Indonesia yang menganut sistem presidensial dengan sistem multipartai, kesepakatan dan kompromi politik di DPR sangat menentukan ketua dan pimpinan DPR karena tidak ada partai politik yang benar-benar memperoleh mayoritas mutlak kursi di DPR sehingga kompromi dan kesepakatan berdasarkan kepentingan adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari," kata hakim konstitusi.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.