KOMPAS.com - Kualitas kepemimpinan di antaranya bisa dinilai dari bagaimana komunikasi politik dijalankan. Publik menilai isi komunikasi politik pemerintah dan elite politik tak memberi jalan keluar atas berbagai persoalan di masyarakat. Gagasan yang disampaikan cenderung berorientasi pada kepentingan kelompok daripada kepentingan nasional.

Indonesia pernah memiliki Presiden Soekarno, orator ulung yang mumpuni berpidato. Cara dan gayanya berpidato bukan hanya berapi-api dan penuh semangat. Lebih dari itu, isi pidatonya mampu mendorong rakyat yang masih dijajah untuk bangkit melawan. Kemampuan Soekarno berkomunikasi terutama karena isi gagasan yang disampaikan memiliki relevansi kuat dengan persoalan yang sedang dihadapi rakyat Indonesia saat itu.

Komunikasi politik merupakan cara untuk menyebarkan gagasan-gagasan politik kepada masyarakat luas. Hasil akhir yang diharapkan dari penyampaian pesan politik itu adalah perubahan kondisi sosial masyarakat.

Di era informasi saat ini, melimpahnya informasi sangat mudah diperoleh publik. Publik membentuk mekanisme untuk menilai apakah pesan ataupun cara penyampaian pesan politik sesuai dengan yang diharapkan publik atau tidak.

Jajak pendapat Kompas pekan lalu mendapati betapa buruknya komunikasi politik yang selama ini dilakukan para elite politik, baik itu di lembaga eksekutif maupun legislatif. Isi pesan yang disampaikan saat ini dinilai tidak mudah dipahami. Mayoritas responden dalam jajak pendapat ini menyatakan tidak puas dengan pernyataan pemerintah ataupun elite politik terkait persoalan bangsa.

Sulit dipahami

Pada dasarnya, komunikasi politik adalah semua bentuk komunikasi yang dilakukan oleh aktor-aktor politik untuk mencapai tujuan khusus (McNair, 1999). Dalam praktiknya, komunikasi politik melibatkan pesan-pesan politik dan aktor-aktor politik, berkaitan dengan kekuasaan, pemerintahan, dan kebijakan pemerintah. Komunikasi politik tersebut diperlukan agar masyarakat mendapat gambaran utuh tentang sejauh mana perkembangan pelaksanaan kebijakan pemerintah.

Namun, kondisi yang terjadi saat ini dinilai sebaliknya oleh publik. Beberapa pernyataan pejabat setingkat menteri dan politikus Senayan dinilai sulit dipahami. Lebih dari separuh responden menyatakan hal itu.

Menurut publik, kesulitan memahami isi pernyataan para pejabat salah satunya karena gaya penyampaian yang sama sekali tidak menarik. Separuh bagian responden menyatakan, gaya penyampaian pesan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tidak menarik. Pendapat serupa disuarakan oleh 63,8 persen dan 68,3 persen responden terkait pejabat publik lainnya, seperti menteri dan anggota DPR.

Hampir-hampir tak pernah ditemukan lagi saat ini momen-momen di mana warga menantikan pidato pemimpin yang disiarkan media massa atau datang berduyun-duyun secara sukarela mendengarkan orasi pejabat publik di sebuah lapangan seperti yang pernah terjadi di masa lalu.

Komunikasi akan menjadi efektif apabila penyampaian pesan, ide, ataupun gagasan bisa diterima. Penyampai pesan dan penerima pesan saling memberikan kontribusi. Kenyataannya, isi komunikasi politik para pejabat publik saat ini dinilai tak hanya sulit dipahami, tetapi juga mengaburkan persoalan.

Dalam penjelasan terhadap beberapa kasus yang terjadi, misalnya, para pejabat publik, termasuk menteri, dinilai tidak mampu menawarkan jalan keluar bagaimana seharusnya menyelesaikan persoalan tertentu. Persoalan minoritas agama, misalnya, pernyataan para pejabat yang terkait persoalan tersebut belum bisa menjamin perlindungan kepada kelompok minoritas. Sebaliknya, peristiwa kekerasan terus terjadi.

Tidak puas

Mayoritas responden jajak pendapat ini menyatakan ketidakpuasannya terhadap pernyataan sejumlah menteri ataupun politikus dalam menanggapi beberapa persoalan. Masalah kedelai, misalnya, lebih dari 80 persen responden tidak puas dengan pernyataan, ide, gagasan, ataupun solusi yang disampaikan para elite politik. Padahal, persoalan kedelai menyangkut berbagai aspek, termasuk ribuan nasib perajin tahu dan tempe dan jutaan konsumennya.

Untuk persoalan kriminalitas, terorisme, dan kekerasan oleh organisasi massa yang tidak berkesudahan, publik juga tidak puas dengan pernyataan para politisi. Lebih dari 70 persen responden merasa tidak puas terhadap pernyataan para elite politik dalam menanggapi beberapa persoalan tersebut.

Tak hanya mengaburkan persoalan, substansi penjelasan yang disampaikan para elite politik diyakini publik lebih mencerminkan kepentingan kelompoknya dibandingkan kepentingan bangsa. Lebih dari separuh responden menilai bahwa pernyataan para elite politik di media massa terkait penanganan beberapa persoalan nasional tersebut kurang mencerminkan kepentingan nasional.

Dalam menanggapi kasus suap terhadap Kepala Satuan Kerja Khusus (SKK) Migas Rudi Rubiandini, misalnya, mayoritas responden menilai negatif pernyataan pemerintah. Menurut mereka, apa yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi telah sangat gambling membongkar tindak pidana korupsi di tubuh lembaga eksekutif. Pernyataan dari lembaga setingkat menteri dinilai sebagai upaya melindungi kepentingan kelompoknya sendiri.

Keyakinan publik juga makin tergerus terkait konsistensi elite politik dalam melaksanakan komitmen dan pernyataannya. Sebanyak 86 persen responden menyatakan tidak yakin elite politik akan konsisten melaksanakan apa yang mereka katakan. Kondisi ini cukup memprihatinkan mengingat pernyataan para elite politik di media massa bisa dicatat publik dan dianggap sebagai komitmen atau janji yang harus direalisasikan.