JAKARTA, KOMPAS.com – Direktur Advokasi dan Kampanye YLBHI, Bahrain mengkritik usulan pemerintah untuk memasukkan pasal penghinaan pemerintah di dalam RUU KUHP.
Melalui usulan tersebut, pemerintah berharap agar setiap bentuk penghinaan terhadap pemerintah masuk dalam kategori tindak pidana.
“Kalau enggak mau dikritik, enggak perlu jadi pejabat. Tidur saja di rumah,” tegas Bahrain saat dijumpai di Jakarta, Jumat (18/11/2016).
Di sejumlah negara maju, seperti Jerman dan Amerika Serikat, menurut dia, pasal seperti itu sudah tidak lagi digunakan.
Bahkan, apabila ada seorang warga yang mengkritik bahkan menghina kepala negara, dianggap sebagai sebuah bentuk kebebasan berekspresi.
“Tapi kita kan juga dibatasi oleh norma kesusilaan, agama. Sepanjang memang batasan itu tidak dilanggar, saya kira enggak perlu jadi masalah,” ujarnya.
Ia menambahkan, beberapa waktu lalu Mahkamah Konstitusi juga telah mencabut ketentuan pasal penghinaan presiden di dalam KUHP.
Menurut dia, bentuk pasal penghinaan pemerintah dan penghinaan presiden relatif sama. Ia mengatakan, sebagai kepala pemerintahan dan kepala negara, seorang presiden sudah seharusnya bersedia menerima kritikan dari masyarakat.
Kritik, kata Bahrain, merupakan bagian dari aspek demokrasi atau penyampaian pendapat yang dilindungi UU.
“Dalam berdialog kalau dia (Presiden) berbeda pendapat dengan kita, tetap kita hormati. Bukan dipidana. Dikurung orang kayak zaman Orba saja,” tandasnya.
Diberitakan sebelumnya, pemerintah mengusulkan agar pasal penghinaan pemerintah masuk dalam kategori tindak pidana.
(Baca: Pasal Penghinaan Pemerintah Masuk dalam Draf RUU KUHP)
Pasal tersebut bertujuan melindungi pemerintah yang dibentuk secara sah dan dijamin oleh undang-undang dalam melaksanakan tugasnya.
"Perorangan saja dilindungi undang-undang, kok pemerintah yang dibentuk secara sah tidak dilindungi undang-undang," kata Ketua Tim Perumus Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Muladi di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (17/11/2016).
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.