Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Rudi Hartono
Penulis Lepas dan Peneliti

Penulis lepas dan pendiri Paramitha Institute

Redupnya Politik Buruh di Panggung Elektoral

Kompas.com - 02/07/2024, 13:28 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

DARI enam kali pemilu pasca-Reformasi 1998, partai berbasis buruh hanya empat kali berpartisipasi.

Dari empat kali itu, tidak sekali pun partai berbasis buruh berhasil menembus ambang batas (parliamentary threshold) dan menempatkan wakilnya di DPR.

Terbaru, pada pemilu 2024 lalu, Partai Buruh hanya meraih 972.000 suara atau 0,64 persen. Padahal, dalam perspektif teori massa kritis (critical mass), kelompok atau gerakan politik membutuhkan perwakilan minimal 25 persen untuk bisa melakukan perubahan (Damon Centola, 2018).

Redupnya politik buruh memunggungi dua fakta. Pertama, gerakan buruh punya andil besar dalam memengaruhi arah politik Indonesia sejak awal abad ke-20 hingga periode pasca-Proklamasi kemerdekaan.

Kedua, basis sosial potensial pemilih buruh sangat melimpah. Jumlah pekerja industri manufaktur mencapai 19,35 juta orang (BPS, 2023). Jika definisinya diperluas pada semua orang yang bekerja, jumlahnya mencapai 139,85 juta orang (BPS, 2023).|

Mengapa politik buruh tidak bisa bersinar terang di panggung elektoral dan bisa menerangi arah kebijakan ekonomi dan politik Indonesia menuju masa depan?

Faktor struktural

Penjelasan pertama untuk menjawab pertanyaan di atas adalah faktor struktural, yakni struktur ekonomi-politik yang memengaruhi tumbuh-kembangnya pergerakan buruh.

Di Indonesia, perkembangan kapitalisme tidak pernah melalui jalan industrialisasi yang masif. Meminjam penjelasan Sukarno (1933), kapitalisme di Indonesia tidak mengarah pada kapitalisme kepabrikan seperti di Eropa, melainkan lebih banyak ke pertanian, perkebunan, dan pertambangan (ekstraktif).

Kapitalisme ekstraktif hanya berjualan bahan mentah ke pasar dunia. Tidak ada proses pengolahan atau manufaktur di situ.

Walhasil, tidak ada batu pijak bagi industrialisasi yang masif. Padahal, sektor manufaktur merupakan lahan tersubur bagi pergerakan buruh.

Memang, di masa Orde Baru, ada upaya industrialisasi. Pada 1980-an, Orde Baru beralih pada pendekatan industri orientasi ekspor (IOE), yang memberi jalan bagi berkembangnya industri manufaktur, terutama garmen, tekstil, makanan, dan alas kaki.

Jumlah buruh manufaktur meningkat sebanyak 13,24 persen pada 1994 (Mudrajad Kuncoro, 1996). Demi merayu investor asing, selain strategi low-cost melalui politik upah murah, strategi IOE juga membungkam gerakan buruh lewat pembatasan hak berserikat dan larangan mogok kerja (Kuruvilla, 1998).

Pada masa Orba, serikat buruh yang kiri dan progresif sudah dihancurkan, sehingga yang tersisa hanya serikat kanan.

Kelompok yang tersisa ini disatukan ke dalam “single union”, yang model tata kelolanya menyerupai “korporatisme negara yang eksklusif”: fungsi serikat tak lebih dari agen negara/kekuasaan, bukan mewakili kepentingan pekerja (Ford, 2016).

Ciri lainnya adalah depolitisasi dan pelibatan aparat keamanan dalam perselisihan industrial.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com