Itu juga yang menyebabkan, ketika Indonesia diterpa krisis ekonomi pada 1997-1998 dan rezim Orde Baru mengalami guncangan internal, gerakan buruh tidak muncul sebagai motor utama perjuangan demokrasi seperti pengalaman gerakan buruh di Korea Selatan dan Amerika latin.
Pasca-Reformasi, agenda industrialisasi tetap terseok-seok dan tak menemukan peta jalannya.
Hingga, seiring dengan masifnya agenda neoliberalisme, industri manufaktur semakin melemah dan mengalami gejala dini deindustrialisasi.
Selain tercermin dari penurunan kontribusi manufaktur terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), gejala deindustrialisasi ini juga terlihat pada menurunnya porsi penyerapan tenaga kerja.
Pada 2017, porsi serapan tenaga kerja industri olahan masih 14,5 persen. Namun, pada Agustus 2023, angkanya tinggal 13,83 persen (BPS, 2023).
Bersamaan dengan gejala deindustrialisasi itu, ada lonjakan informalisasi kerja. Pada 2023, jumlah pekerja informal mencapai 59,11 persen, sementara pekerja formal hanya 40,89 persen.
Masalahnya, di tengah limpahan pekerja informal, serikat buruh belum banyak terlibat dalam pengorganisiran sektor informal.
Tahun 1998, setelah runtuhnya kekuasaan Orba, tersedia ruang demokrasi. Ruang tersebut memberi kesempatan kepada masyarakat sipil, termasuk buruh, untuk memengaruhi kebijakan politik.
Buruh mendapat ruang berserikat dan memperjuangkan haknya lewat UU nomor 21 tahun 2000.
Hanya setahun setelah UU itu, jumlah serikat buruh meledak. Pada 2001, ada 61 federasi serikat buruh, 144 serikat buruh tingkat nasional, dan sekitar 11.000 serikat buruh tingkat perusahaan yang terdaftar.
Ada 11 juta buruh yang tergabung dalam serikat buruh dalam tempo itu (Sri Kusumastuti Rahayu dan Sudarno Sumarto, Smeru, 2003). Kemenaker menyebut jumlah buruh yang berserikat pada masa itu hanya 9 juta orang.
Namun, dua dekade kemudian, data menyuguhkan kenyataan ironis: jumlah serikat makin banyak, tetapi jumlah buruh yang berserikat justru menciut.
Data Kemenaker menyebutkan, saat ini ada 21 konfederasi, 197 federasi, dan 12.346 serikat buruh, sementara total anggotanya hanya 4 juta orang.
Ini masalah pertamanya: fragmentasi gerakan buruh. Penyebabnya beragam, tetapi sebagian besar dipicu oleh problem tata-kelola organisasi, seperti perpecahan organisasi yang kerap melahirkan SP/SB baru, dan model kepemimpinan yang cenderung paternalistik dan terpersonalisasi.
Persoalan lainnya adalah karakter gerakan yang spontan dan reaktif sehingga terfokus pada isu-isu sempit dan jangka pendek. Ditambah lagi, tidak ada orientasi politik bersama yang mengimani agenda politik serikat buruh.