Kedua, selain persoalan fragmentasi, gerakan buruh juga masih mengidap apa yang disebut oleh Olle Törnquist sebagai “labour puritanism”, yang membuat gerakan buruh agak berjarak dengan aktivitas politik dan hanya fokus pada isu-isu normatif.
Penyakit ini bukan hanya membuat buruh samar-samar melihat keterkaitan isu-isu politik dengan persoalan perburuhan atau gagap membaca isu-isu yang sifatnya interseksional, tetapi juga kesulitan merangkai isu-isu bersama sehingga melahirkan kesatuan aksi gerakan buruh dan aliansi lintas-sektor.
Ketiga, efek depolitisasi yang diwariskan oleh Orba belum sepenuhnya menghilang. Efek dari depolitisasi ini beragam: absennnya politik kelas, kemiskinan imajinasi politik, dan kurangnya semangat berhimpun demi memperjuangkan kepentingan bersama.
Tanpa politik kelas, buruh akan sulit melihat posisi sosialnya dalam relasi produksi, relasi sosial, maupun politik. Tanpa imajinasi politik, massa buruh sulit membayangkan dunia lain atau masa depan lebih baik selain pergulatan hidup sehari-hari.
Gerakan buruh maupun kelompok progresif belum berhasil menyelenggarakan sekolah politik massa yang terlembagakan dan berjalan reguler. Hampir tidak ada serikat buruh maupun organisasi progresif yang punya lembaga pendidikan.
Keempat, masih minimnya agenda pemberdayaan ekonomi, seperti koperasi maupun badan usaha.
Selain untuk merawat basis pengorganisiran, pemberdayaan ekonomi anggota penting untuk menjaga basis pemilih dari gempuran politik uang di panggung elektoral.
Penelitian Burhanuddin Muhtadi (2019) menunjukkan bahwa 33,1 persen pemilih terpapar oleh politik uang. Pada pemilu 2024, sejumlah caleg partai Buruh mengeluhkan kuatnya politik uang yang menggerus dukungan dari basis pemilih buruh.
Gerakan buruh maupun gerakan progresif perlu belajar pada Muhammadiyah, yang punya ribuan sekolah (dari SD hingga perguruan tinggi), ratusan rumah sakit dan faskes, dan ratusan lembaga keuangan mikro.
Ketidakberhasilan gerakan buruh menghalau UU Cipta Kerja maupun kebijakan neoliberal lainnya menunjukkan bahwa perjuangan tak cukup hanya di jalanan, tetapi perlu diperluas dan diperhebat di parlemen dan kekuasaan eksekutif.
Dalam konteks itu, yang dibutuhkan bukan sekadar partai buruh yang terlalu berorientasi sektoral, tetapi partai alternatif yang menjadi payung bagi semua sektor-sektor sosial yang terhempas oleh neoliberalisme dan sistem politik yang oligarkis. Dalam proyek alternatif itu, gerakan buruh harus menjadi motornya.
Pertama, proyek partai alternatif itu harus berbicara dan menyiapkan peta jalan industrialisasi untuk diperjuangkan dan dimenangkan dalam kebijakan ekonomi nasional.
Sebab, industrialisasi adalah basis bagi tumbuh-kembangnya gerakan buruh yang kuat sekaligus basis untuk memperjuangkan kesejahteraan sosial.
Kedua, ada kebutuhan untuk mengikis efek depolitisasi warisan Orba maupun dampak merusak dari politik uang yang mewabah lewat sekolah politik massa yang terlembaga dan terkelola secara modern.
Ketiga, perlu perhatian serius pada upaya pemberdayaan ekonomi dengan menghidupkan koperasi maupun berbagai badan usaha yang dikelola oleh serikat.
Pemberdayaan ekonomi ini untuk menggerakkan roda organisasi agar tetap berdikari dan merawat anggota.
Untuk mencapai pelabuhan tujuan, yaitu masyarakat adil dan makmur, kita butuh kapal besar yang bisa menampung semua sektor sosial yang menghendaki perubahan.
Bukan berangkat dengan perahu kecil sendiri-sendiri di tengah amukan gelombang neoliberal dan politik oligarkis.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.