Karena seorang pemimpin tak perlu menjadi seseorang yang memiliki segalanya, tapi yang jauh lebih penting adalah menjadi seorang pemimpin dengan tipe the doer, figur yang mampu mengeksekusi dengan baik program yang sudah disusun.
Namun semua itu masih jauh dari harapan sampai Pilkada serentak tahun ini. Belum ada tanda-tanda yang memperlihatkan daerah-daerah, terutama beberapa daerah yang sempat saya kunjungi dalam setahun terakhir, akan berbuah manis pasca-Pilkada nanti.
Di permukaan, baliho-baliho dan billboard-billboard tanpa konteks berseliweran untuk memperkenalkan betapa menariknya sosok para kandidat.
Namun di dalam pembicaraan serius di lapangan dengan semua kalangan, Pilkada hanya terkait dengan “logistik” atau “uang”, tak lebih dan tak kurang.
Pembicaraan dengan para operator-operator politik yang bekerja untuk para kandidat pemimpin daerah tidak jauh-jauh dari kalkulasi uang dan jumlah suara yang bisa diraih dengan uang tersebut.
Angka-angka yang mereka utak-atik adalah angka-angka yang terkait dengan harga satu suara, lalu diakumulasikan menjadi suara terbanyak untuk mendapatkan status sebagai pemenang Pilkada, dan itulah dana yang harus disiapkan calon kepala daerah.
Tak perlu sekolah tinggi-tinggi untuk menghitungnya. Jika kesimpulannya adalah bahwa satu suara akan dihargai Rp 500.000, misalnya, maka untuk mendapatkan kemenangan dengan 80.000 suara, dana Rp 40.000.000.000 harus disiapkan.
Lalu ditambah dengan biaya operasional politik tim di lapangan. Nah, itulah total dana yang harus disiapkan untuk menang, misalnya. Sesederhana dan sedangkal itu urusan Pilkada itu nyatanya.
Dan memang itu lah wajah Indonesia dan wajah Pilkada kali ini. Nyaris tidak berubah dibanding Pilkada-Pilkada terdahulu.
Sepanjang pengamatan saya di beberapa daerah yang saya kunjungi dalam setahun terakhir, penampakan political behaviour yang hampir sama adalah penampakan dominan, mulai dari level grass root sampai kepada elite-elitenya.
Hampir semua kepala daerah yang baru memenangkan pertarungan mendapat banyak ocehan positif di tahun pertama, mungkin juga tahun kedua. Namun selanjutnya cerita akan pelan-pelan berubah di tahun selanjutnya.
Pesimisme mulai muncul. Lalu mendorong kandidat lain untuk menjadi tandingannya.
Namun kemudian pada praktiknya, baik kandidat petahana maupun tandingannya, justru akan kembali terjebak ke dalam hitung-hitungan yang sama, yakni kalkulasi jumlah uang dan jumlah suara saja.
Padahal risikonya sudah dirasakan sejak bertahun-tahun lalu. Di beberapa daerah yang saya kunjungi, misalnya, bahkan kepala daerahnya justru tak mampu mendefenisikan apa yang ingin ia lakukan untuk daerahnya, selain apa yang ingin ia lakukan untuk mengembalikan dana yang telah ia keluarkan di dalam Pilkada sebelumnya.
Di sebagian daerah lain, kepala daerahnya tidak mampu membangun hubungan baik dengan dunia usaha, sehingga investasi sangat sulit didatangkan.
Bahkan di beberapa daerah, dengan dunia usaha yang sudah eksis di daerahnya sekalipun, kepala daerahnya tak mampu berkomunikasi dan berkolaborasi untuk menyelesaikan berbagai masalah yang penyelesaiannya semestinya berada di tangan mereka, sehingga dunia usaha yang sudah ada sangat kesulitan untuk berkembang.
Pendeknya, taruhan dari Pilkada yang terus-menerus dikonstruksikan di dalam lingkaran setan yang sama setiap lima tahun sangatlah besar.
Masa depan ekonomi ratusan juta penduduk Indonesia bisa terhalang oleh kapitalisasi moralitas Pilkada kita.
Sulit bagi saya membayangkan Indonesia Emas 2045 dalam kacamata Pilkada serentak kita nanti. Sangat sulit.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.