Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Jannus TH Siahaan
Doktor Sosiologi

Doktor Sosiologi dari Universitas Padjadjaran. Pengamat sosial dan kebijakan publik. Peneliti di Indonesian Initiative for Sustainable Mining (IISM). Pernah berprofesi sebagai Wartawan dan bekerja di industri pertambangan.

Buah Pahit Pilkada yang Hanya Sekadar Masalah “Uang”

Kompas.com - 24/06/2024, 06:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SETIAP momen Pilkada (pemilihan kepala daerah) mendekati, saya nyaris selalu mendapati pandangan kawan-kawan saya di daerah tentang momen perubahan yang harus digapai melalui momen Pilkada tersebut.

Namun nyatanya semuanya kembali sebagaimana realitas sebelumnya setelah Pilkada usai. Tidak banyak daerah yang berubah dan mengalami kemajuan sebagaimana janji-janji manis para kontestan Pilkada saat kampanye di hadapan rakyatnya.

Selain banyak daerah yang tetap terjebak di dalam stagnasi ekonomi, tak sedikit pula kepala daerahnya berakhir di tahanan KPK dan Kejaksaan Agung, karena tersangkut kasus korupsi yang dilangsungkan dalam konteks dan motivasi untuk mengembalikan dana yang telah dikeluarkan di saat mengikuti kontestasi Pilkada.

Dari sisi ekonomi, mayoritas daerah di Indonesia, terutama daerah tingkat dua, tumbuh di bawah angka pertumbuhan ekonomi nasional.

Namun tingkat kemiskinan di daerah-daerah justru jauh lebih tinggi di banding tingkat kemiskinan nasional.

Kedua angka tersebut sulit sekali diperbaiki di tingkat daerah, karena lemahnya kapasitas dan kapabilitas kepala daerah sebagai hasil dari Pilkada di satu sisi dan tak jelasnya visi misi mereka di sisi lain.

Di beberapa daerah yang saya kunjungi dalam setahun terakhir, rata-rata pertumbuhan ekonominya hanya tiga persenan. Angka tersebut lahir dari pertumbuhan natural saja, bukan karena kinerja pemerintahan daerah.

Sementara tingkat kemiskinan rata-rata berada di atas 12 persen. Sangat jauh jika dibanding dengan raihan nasional, yang sejatinya juga tergolong rendah, di mana tingkat pertumbuhan rata-rata 5 persen dan tingkat kemiskinan 9 persenan (Susenas 2023).

Sementara dari sisi korupsi, dalam dua tahun terakhir saja, tahun 2022 dan 2023, terdapat 14 kepala deerah yang masuk ke KPK.

Di tahun 2022, terdapat 8 kepala daerah, bupati dan wali kota, yang terkena OTT (operasi tangkap tangan) KPK. Sementara di tahun 2023, terdapat 5 bupati dan wali kota, serta satu gubernur, yang harus memakai rompi "orange" milik KPK.

Sehingga pada akhirnya, terpilihnya pemimpin baru di daerah justru menjadi variabel tambahan yang membebani, bahkan menghalangi, kemajuan daerah.

Pasalnya, beban fiskal daerah semakin bertambah justru untuk pengeluaran-pengeluaran yang tidak terkait dengan pembangunan daerah, tapi terkait dengan isi saku para penguasa baru yang kembali harus diisi.

Saya menemukan hal semacam itu hampir di semua daerah yang saya kunjungi dalam beberapa waktu belakangan.

Kepala-kepala daerah yang terpilih dari momen Pilkada serentak tempo hari justru lebih banyak yang asyik dengan kepentingan dirinya dan kelompoknya sendiri, yang sayangnya sangat tidak simestris dengan kesejahteraan masyarakat di daerah.

Mayoritas dari kepentingan tersebut terkait dengan urusan bagaimana membagi-bagi dan mengkavling-kavling anggaran daerah untuk ditransformasikan menjadi proyek dan belanja yang menguntungkan pihak yang menang.

Harapannya dana yang telah dikeluarkan bisa dikembalikan di satu sisi dan dikembalikan dalam kondisi “untung” di sisi lain.

Sementara itu, perkara kesejahteraan dan kemajuan daerah nyaris tak lagi hadir sebagai motivasi penting yang melatari pekerjaan kepala daerah setelah mereka menjabat.

Keasyikan mereka (para penguasa daerah) dan kelompoknya tersebut berjalan tanpa kendali, sampai semua pihak di daerah, termasuk para penguasa baru tersebut, tersadar bahwa momen Pilkada selanjutnya telah mendekati.

Walhasil, mereka kembali harus berinvestasi untuk memenangkannya kembali, lalu setelah menang, kembali mengakali anggaran daerah untuk mengganti biaya kontestasi yang telah dikeluarkan sekaligus dengan untungnya.

Siklus ini seperti lingkaran setan dan nyatanya sangat menyakitkan bagi masyarakat di daerah. Pasalnya, nomenkaltur APBD yang hanya tersisa sedikit untuk membangun daerah, karena APBD sudah sangat terbebani oleh anggaran rutin dan operasional, justru semakin terpangkas untuk pos-pos fiktif yang dipakai penguasa baru dan kelompoknya untuk mengembalikan dana kontestasi sebelumnya.

Sehingga sangat tidak mengherankan, di banyak daerah, nyaris tidak terdapat pembangunan apa-apa sejak Pilkada terakhir.

Siklus lingkaran setan antara biaya kontestasi dan penyunatan anggaran pembangunan daerah menyebabkan intervensi pemerintah daerah dalam pembangunan ekonomi daerah menjadi semakin minimalis, bahkan nihil. Tidak menimbulkan efek produktif apapun kepada kesejahteraan masyarakat daerah dan kemajuan daerah.

Dalam perkembangan politik kedaerahan selama ini, harus diakui bahwa memang tidak mudah untuk mendapatkan seorang pemimpin daerah yang berkualitas secara personal dan memiliki kapasitas kinerja mumpuni.

Idealnya, seorang kepala daerah harus memiliki integritas, kapabilitas, visi, dan kemampuan memimpin yang mumpuni.

Secara teoritik dan idealistik, integritas mengacu pada kejujuran dan tanggung jawab. Logikanya, tanpa kejujuran, pemimpin publik sudah pasti akan mudah tergelincir ke dalam tindak pidana korupsi dan berbagai tindak kejahatan lainnya.

Dengan integritas, seorang pemimpin di daerah tidak akan membarter antara biaya yang telah ia keluarkan dengan anggaran daerah. Ia akan lebih kreatif dalam memenangkan konstestasi tanpa harus menggadaikan anggaran daerah sebagai taruhannya.

Sedangkan tanggung jawab mengacu pada pelaksanaan tugas secara sungguh-sungguh. Pemimpin yang bertanggung jawab, dalam kondisi apapun, akan mendahulukan tugas dan kewajiban serta rakyat yang dipimpinnya dibanding kepentingan pribadi.

Lalu, kapabilitas adalah kompetensi dalam bidang atau kegiatan yang menjadi tugasnya. Dan visi merujuk pada kemampuan seorang pemimpin dalam menentukan tujuan disertai prioritas untuk menggapai tujuan tersebut.

Sementara itu, di sisi lain, kepemimpinan juga sangat terkait dengan kemampuan dalam menggerakkan roda organisasi untuk melaksanakan tugas, termasuk kemampuan untuk mendobrak berbagai faktor dan kekuatan yang menghambat kemajuan.

Dan tak lupa, kepemimpinan juga menyangkut kemampuan dalam mengeksekusi program dan pekerjaan secara konsisten, bukan hanya pandai membuat program.

Karena seorang pemimpin tak perlu menjadi seseorang yang memiliki segalanya, tapi yang jauh lebih penting adalah menjadi seorang pemimpin dengan tipe the doer, figur yang mampu mengeksekusi dengan baik program yang sudah disusun.

Namun semua itu masih jauh dari harapan sampai Pilkada serentak tahun ini. Belum ada tanda-tanda yang memperlihatkan daerah-daerah, terutama beberapa daerah yang sempat saya kunjungi dalam setahun terakhir, akan berbuah manis pasca-Pilkada nanti.

Di permukaan, baliho-baliho dan billboard-billboard tanpa konteks berseliweran untuk memperkenalkan betapa menariknya sosok para kandidat.

Namun di dalam pembicaraan serius di lapangan dengan semua kalangan, Pilkada hanya terkait dengan “logistik” atau “uang”, tak lebih dan tak kurang.

Pembicaraan dengan para operator-operator politik yang bekerja untuk para kandidat pemimpin daerah tidak jauh-jauh dari kalkulasi uang dan jumlah suara yang bisa diraih dengan uang tersebut.

Angka-angka yang mereka utak-atik adalah angka-angka yang terkait dengan harga satu suara, lalu diakumulasikan menjadi suara terbanyak untuk mendapatkan status sebagai pemenang Pilkada, dan itulah dana yang harus disiapkan calon kepala daerah.

Tak perlu sekolah tinggi-tinggi untuk menghitungnya. Jika kesimpulannya adalah bahwa satu suara akan dihargai Rp 500.000, misalnya, maka untuk mendapatkan kemenangan dengan 80.000 suara, dana Rp 40.000.000.000 harus disiapkan.

Lalu ditambah dengan biaya operasional politik tim di lapangan. Nah, itulah total dana yang harus disiapkan untuk menang, misalnya. Sesederhana dan sedangkal itu urusan Pilkada itu nyatanya.

Dan memang itu lah wajah Indonesia dan wajah Pilkada kali ini. Nyaris tidak berubah dibanding Pilkada-Pilkada terdahulu.

Sepanjang pengamatan saya di beberapa daerah yang saya kunjungi dalam setahun terakhir, penampakan political behaviour yang hampir sama adalah penampakan dominan, mulai dari level grass root sampai kepada elite-elitenya.

Hampir semua kepala daerah yang baru memenangkan pertarungan mendapat banyak ocehan positif di tahun pertama, mungkin juga tahun kedua. Namun selanjutnya cerita akan pelan-pelan berubah di tahun selanjutnya.

Pesimisme mulai muncul. Lalu mendorong kandidat lain untuk menjadi tandingannya.

Namun kemudian pada praktiknya, baik kandidat petahana maupun tandingannya, justru akan kembali terjebak ke dalam hitung-hitungan yang sama, yakni kalkulasi jumlah uang dan jumlah suara saja.

Padahal risikonya sudah dirasakan sejak bertahun-tahun lalu. Di beberapa daerah yang saya kunjungi, misalnya, bahkan kepala daerahnya justru tak mampu mendefenisikan apa yang ingin ia lakukan untuk daerahnya, selain apa yang ingin ia lakukan untuk mengembalikan dana yang telah ia keluarkan di dalam Pilkada sebelumnya.

Di sebagian daerah lain, kepala daerahnya tidak mampu membangun hubungan baik dengan dunia usaha, sehingga investasi sangat sulit didatangkan.

Bahkan di beberapa daerah, dengan dunia usaha yang sudah eksis di daerahnya sekalipun, kepala daerahnya tak mampu berkomunikasi dan berkolaborasi untuk menyelesaikan berbagai masalah yang penyelesaiannya semestinya berada di tangan mereka, sehingga dunia usaha yang sudah ada sangat kesulitan untuk berkembang.

Pendeknya, taruhan dari Pilkada yang terus-menerus dikonstruksikan di dalam lingkaran setan yang sama setiap lima tahun sangatlah besar.

Masa depan ekonomi ratusan juta penduduk Indonesia bisa terhalang oleh kapitalisasi moralitas Pilkada kita.

Sulit bagi saya membayangkan Indonesia Emas 2045 dalam kacamata Pilkada serentak kita nanti. Sangat sulit.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Gerindra Usung Andra Soni-Dimyati Natakusumah Maju Pilkada Banten

Gerindra Usung Andra Soni-Dimyati Natakusumah Maju Pilkada Banten

Nasional
KPU: Cagub-Cawagub Usia 30 Tahun, Cabup-Cawabup 25 Tahun Saat Dilantik 1 Januari 2025

KPU: Cagub-Cawagub Usia 30 Tahun, Cabup-Cawabup 25 Tahun Saat Dilantik 1 Januari 2025

Nasional
Operasi Besar di RSPPN PB Soedirman, Prabowo: Saya Dua Kali Kecelakaan Terjun Payung

Operasi Besar di RSPPN PB Soedirman, Prabowo: Saya Dua Kali Kecelakaan Terjun Payung

Nasional
Jokowi Jenguk Prabowo Usai Jalani Operasi Cedera Kaki di RSPPN PB Soedirman

Jokowi Jenguk Prabowo Usai Jalani Operasi Cedera Kaki di RSPPN PB Soedirman

Nasional
Prabowo Jalani Operasi Besar di RSPPN Soedirman Pekan Lalu

Prabowo Jalani Operasi Besar di RSPPN Soedirman Pekan Lalu

Nasional
Disinggung Komunikasi dengan Anies untuk Pilkada Jakarta, Hasto: PDI-P Tidak Kurang Stok Pemimpin

Disinggung Komunikasi dengan Anies untuk Pilkada Jakarta, Hasto: PDI-P Tidak Kurang Stok Pemimpin

Nasional
Survei LSI: Ada Pengaruh Jokowi, yang Membuat Kaesang Unggul di Jateng

Survei LSI: Ada Pengaruh Jokowi, yang Membuat Kaesang Unggul di Jateng

Nasional
Mimi Campervan Girl dan Tim THK Dompet Dhuafa Bagikan Sapi Kurban untuk Warga Ohoidertawun

Mimi Campervan Girl dan Tim THK Dompet Dhuafa Bagikan Sapi Kurban untuk Warga Ohoidertawun

Nasional
Hasto Siap Hadir Jika Dipanggil KPK Lagi Juli Mendatang

Hasto Siap Hadir Jika Dipanggil KPK Lagi Juli Mendatang

Nasional
PDI-P Buka Peluang Kerja Sama Politik dengan PAN, Gerindra dan PKB di Beberapa Provinsi

PDI-P Buka Peluang Kerja Sama Politik dengan PAN, Gerindra dan PKB di Beberapa Provinsi

Nasional
Menkominfo Didesak Mundur soal PDN, Wapres: Hak Prerogatif Presiden

Menkominfo Didesak Mundur soal PDN, Wapres: Hak Prerogatif Presiden

Nasional
PDN Diretas, Wapres: Tidak Terpikirkan Dahulu Ada Peretasan Dahsyat

PDN Diretas, Wapres: Tidak Terpikirkan Dahulu Ada Peretasan Dahsyat

Nasional
Menteri BUMN Cek Kesiapan Jaringan Gas Pertamina di IKN

Menteri BUMN Cek Kesiapan Jaringan Gas Pertamina di IKN

Nasional
Soal Koster Kembali Diusung di Pilkada Bali, Hasto: Megawati di Bali Lakukan Pemetaan

Soal Koster Kembali Diusung di Pilkada Bali, Hasto: Megawati di Bali Lakukan Pemetaan

Nasional
Yakin Menang di Pilkada Jakarta, PKS: Presidennya Sudah Prabowo, Pendukung Anies 2017

Yakin Menang di Pilkada Jakarta, PKS: Presidennya Sudah Prabowo, Pendukung Anies 2017

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com