SETIAP momen Pilkada (pemilihan kepala daerah) mendekati, saya nyaris selalu mendapati pandangan kawan-kawan saya di daerah tentang momen perubahan yang harus digapai melalui momen Pilkada tersebut.
Namun nyatanya semuanya kembali sebagaimana realitas sebelumnya setelah Pilkada usai. Tidak banyak daerah yang berubah dan mengalami kemajuan sebagaimana janji-janji manis para kontestan Pilkada saat kampanye di hadapan rakyatnya.
Selain banyak daerah yang tetap terjebak di dalam stagnasi ekonomi, tak sedikit pula kepala daerahnya berakhir di tahanan KPK dan Kejaksaan Agung, karena tersangkut kasus korupsi yang dilangsungkan dalam konteks dan motivasi untuk mengembalikan dana yang telah dikeluarkan di saat mengikuti kontestasi Pilkada.
Dari sisi ekonomi, mayoritas daerah di Indonesia, terutama daerah tingkat dua, tumbuh di bawah angka pertumbuhan ekonomi nasional.
Namun tingkat kemiskinan di daerah-daerah justru jauh lebih tinggi di banding tingkat kemiskinan nasional.
Kedua angka tersebut sulit sekali diperbaiki di tingkat daerah, karena lemahnya kapasitas dan kapabilitas kepala daerah sebagai hasil dari Pilkada di satu sisi dan tak jelasnya visi misi mereka di sisi lain.
Di beberapa daerah yang saya kunjungi dalam setahun terakhir, rata-rata pertumbuhan ekonominya hanya tiga persenan. Angka tersebut lahir dari pertumbuhan natural saja, bukan karena kinerja pemerintahan daerah.
Sementara tingkat kemiskinan rata-rata berada di atas 12 persen. Sangat jauh jika dibanding dengan raihan nasional, yang sejatinya juga tergolong rendah, di mana tingkat pertumbuhan rata-rata 5 persen dan tingkat kemiskinan 9 persenan (Susenas 2023).
Sementara dari sisi korupsi, dalam dua tahun terakhir saja, tahun 2022 dan 2023, terdapat 14 kepala deerah yang masuk ke KPK.
Di tahun 2022, terdapat 8 kepala daerah, bupati dan wali kota, yang terkena OTT (operasi tangkap tangan) KPK. Sementara di tahun 2023, terdapat 5 bupati dan wali kota, serta satu gubernur, yang harus memakai rompi "orange" milik KPK.
Sehingga pada akhirnya, terpilihnya pemimpin baru di daerah justru menjadi variabel tambahan yang membebani, bahkan menghalangi, kemajuan daerah.
Pasalnya, beban fiskal daerah semakin bertambah justru untuk pengeluaran-pengeluaran yang tidak terkait dengan pembangunan daerah, tapi terkait dengan isi saku para penguasa baru yang kembali harus diisi.
Saya menemukan hal semacam itu hampir di semua daerah yang saya kunjungi dalam beberapa waktu belakangan.
Kepala-kepala daerah yang terpilih dari momen Pilkada serentak tempo hari justru lebih banyak yang asyik dengan kepentingan dirinya dan kelompoknya sendiri, yang sayangnya sangat tidak simestris dengan kesejahteraan masyarakat di daerah.
Mayoritas dari kepentingan tersebut terkait dengan urusan bagaimana membagi-bagi dan mengkavling-kavling anggaran daerah untuk ditransformasikan menjadi proyek dan belanja yang menguntungkan pihak yang menang.