GAGASAN Menko PMK Muhadjir Effendy bahwa korban judi online boleh mendapatkan bantuan sosial (bansos) pada pertengahan Juni 2024 ini menuai kontroversi. Dari masyarakat biasa hingga Menko Perekonomian Airlangga Hartarto dan Wapres Ma’ruf Amin angkat bicara.
Airlangga mengatakan korban judi online tidak tergolong kategori yang seharusnya mendapatkan fasilitas bansos. Tidak tersedia anggaran (APBN) untuk keperluan tersebut (Kompas.com, 14/06/2024).
Sementara Kiai Ma’ruf mengatakan, penerima bansos yang kedapatan menggunakan bantuan tersebut untuk berjudi, termasuk judi online, maka harus dicabut dari daftar penerima bantuan (Kompas.com, 21/06/ 2024).
Belakangan Menteri Muhadjir meralat ucapannya. Ia mengklarifikasi bahwa informasi yang beredar di media massa kurang lengkap dan dipotong-potong.
Menurut Muhadjir, mereka yang menjadi sasaran penerima bansos korban judi online bukan pelaku, melainkan pihak keluarga. Pelaku sudah jelas harus ditindak secara hukum karena itu pidana.
Muhadjir berpandangan, bansos tersebut akan membantu pihak keluarga yang menjadi korban perilaku judi online. Sebab, keluarga yang menjadi korban, khususnya anak dan istri.
Dia mengatakan, keluarga bukan hanya mengalami kerugian secara materi, tetapi juga kesehatan mental, bahkan sampai berujung kematian sebagaimana terjadi dalam banyak kasus (Kompas.com, 17/06/ 2024).
Tentunya kasus terakhir yang menghebohkan adalah seorang istri polwan (FN) yang membakar suaminya yang polisi juga (RDW) hingga tewas karena kesal sang suami menggunakan gajinya untuk judi online, di Mojokerto Jawa Timur pada 8 Juni 2024.
Saking seriusnya memerangi judi online, pemerintah membuat Satgas Pemberantasan Perjudian Online melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 21 Tahun 2024 tentang Satuan Tugas Pemberantasan Perjudian Online yang terbit di Jakarta 14 Juni 2024.
Berdasarkan data Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo), sejak 17 Juli 2023 hingga 21 Mei 2024, tercatat 1.904.246 konten judi online dihapus (take down).
Kemudian, sebanyak 5.364 rekening dan 555 dompet elektronik yang terafiliasi dengan judi online sudah diajukan ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bank Indonesia (BI) untuk diblokir.
Selain itu, Kemenkominfo mencatat ada 14.823 konten sisipan terindikasi judi online di situs lembaga pendidikan serta 17.001 konten sisipan serupa di situs-situs pemerintahan (Kompas.com, 17/06/ 2024).
Pertanyaan kemudian, apakah memang layak korban judi online mendapatkan bansos secara selektif seperti gagasan Menteri Muhadjir?
Hans von Hentig (dalam John Dussich, 2009) menyebutkan dalam bukunya, "The Criminal and His Victim" bahwa ada taksonomi yang menggambarkan bagaimana korban bertanggung jawab atas kerugian yang mereka alami. Skemanya didasarkan pada psikologis, sosial dan faktor biologis.
Ia juga tertarik pada hubungan antara pelaku dan korban, yang disebutnya sebagai pasangan korban kriminal.
Pada tahun 1948, Hans von Hentig mengembangkan tiga kategorisasi korban sebagai berikut :
Pada akhirnya, Von Hentig memperluas kategorinya menjadi 13 kelompok orang yang rentan jadi korban, yakni kaum muda, perempuan, orang lanjut usia, orang dengan disabilitas mental dan penyakit jiwa, para imigran.
Kemudian kaum minoritas, para pembosan, orang yang depresi, orang yang serakah – acquisitive, orang yang ceroboh – wanton, mereka yang kesepian dan patah hati, sang penyiksa – tormentor, dan mereka yang diboikot, dikecualikan, atau diperangi.