Klasifikasi penerima bantuan sosial adalah : a. perorangan; b. keluarga; c. kelompok; dan/atau d. masyarakat, dengan kriteria masalah sosial sebagai berikut : a. kemiskinan; b. keterlantaran; c. kedisabilitasan; d. keterpencilan; e. ketunaan sosial atau penyimpangan perilaku; f. korban bencana; dan/atau g. korban tindak kekerasan, eksploitasi, diskriminasi, korban penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (Pasal 12 Permensos No. 1/ 2019).
Layakkah korban judi online mendapatkan bansos?
Pertama-tama harus diklarifikasi siapa pelaku dan siapa korban dalam suatu aktifitas judi online.
Mereka yang berstatus dewasa, yang melakukan secara sadar, tanpa paksaan dan memiliki niat dan melaksanakannya sekaligus (mens rea dan actus reus) tentunya adalah pantas disebut sebagai pelaku. Walaupun posisinya bisa bervariasi tergantung perannya.
Pasal 55 KUHP Indonesia menyebutkan bahwa pelaku yang melakukan (pleger), menyuruh melakukan (doen pleger), turut serta melakukan (medepleger), dan menganjurkan atau menggerakan melakukan (uitlokker), dipidana sebagai pembuat (dader).
Sementara itu KUHP baru (UU No. 1 tahun 2023) yang akan berlaku pada tahun 2026 menyatakan sebagai berikut : (Pasal 20) Setiap orang dipidana sebagai pelaku tindak pidana jika: melakukan sendiri tindak pidana; melakukan tindak pidana dengan perantaraan alat atau menyuruh orang lain yang tidak dapat dipertanggungjawabkan; turut serta melakukan tindak pidana; atau menggerakkan orang lain supaya melakukan tindak pidana dengan cara memberi atau menjanjikan sesuatu, menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, melakukan kekerasan, menggunakan ancaman kekerasan, melakukan penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana, atau keterangan.
Apabila memenuhi kriteria delik di atas tentunya pelaku judi online adalah sebenar-benarnya pelaku dan bukan korban.
Walaupun bisa saja mereka melakukannya karena tekanan ekonomi, kebutuhan keluarga, atau karena terjerat hutang.
Sedangkan korban, tingkatannya- pun bervariasi. Ada yang sama sekali tak berpartisipasi (innocent victims dan unrelated victims) dalam kejahatan judi online dari sang pelaku (katakanlah suami atau ayah dalam suatu keluarga).
Ada yang memiliki peran minimal (minor) ataupun sama besar dengan sang pelaku. Misalnya anggota keluarga yang turut mem-provokasi (provocative victims) atau turut menyebabkan (precipitative victims) sang pelaku untuk melakukan judi online.
Atau ada juga korban yang memang secara sosial budaya terposisikan sebagai lemah (socially weak victims) dalam tipologi Stephen Schafer maupun Hans von Hentig seperti kaum Perempuan (terutama yang miskin dan jauh dari akses kekuasaan), anak-anak dan kaum lansia.
Viktimisasi akibat judi online akan bertambah lagi (multiple victimization) ketika mereka juga sekaligus adalah minoritas dan memiki disabilitas, baik mental maupun fisik.
Maka gagasan Menteri Muhadjir ada salah dan ada benarnya. Disebut salah ketika (rencana) pemberian bansos dilakukan secara serampangan, tanpa melihat posisi kasusnya, tanpa melihat situasi dan pola kejahatan judi online-nya, dan tanpa memandang peran korban dalam kejahatan tersebut (victims precipitation).
Disebut benar ketika korban adalah semata-mata memang korban sebenarnya yang innocent (tak bersalah) dan tak berkontribusi dalam judi online tersebut (unrelated victims).
Ditambah lagi karena mereka memang miskin dan akan menjadi semakin miskin dan sulit hidupnya karena salah satu anggota keluarga (misalnya sang ayah atau suami) terlibat dalam judi online.
Sehingga, yang menjadi fokus utama pemberian bansos di sini adalah karena memang mereka miskin dan tak punya akses dan sumber daya memadai untuk meningkatkan kesejahteraannya ke taraf yang minimal.
Di sinilah bansos dapat menjadi alternatif untuk kelompok dengan syarat-syarat seperti itu.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.