Jika dirunut, masalah ini berakar pada proses rekrutmen calon kepala daerah yang tidak selektif. Popularitas sering kali lebih diprioritaskan daripada kualitas dan integritas.
Partai politik cenderung memilih calon yang memiliki daya tarik elektoral tinggi, meskipun rekam jejak dan kapasitas mereka dalam memimpin masih dipertanyakan.
Pendekatan ini jelas bermasalah karena mengabaikan pentingnya kompetensi dan etika dalam pemerintahan. Hal ini menunjukkan adanya kelemahan serius dalam proses pemilihan yang perlu segera diatasi.
Tidak adanya seleksi yang ketat terhadap bakal calon kepala daerah hanya menjadikan proses Pilkada lebih mirip kontes popularitas daripada ajang seleksi pemimpin yang benar-benar layak.
Akibatnya, tidak jarang calon yang diusung jauh dari harapan. Bahkan, beberapa di antaranya juga merupakan bekas terpidana korupsi.
Dalam hal ini, partai politik patut disalahkan, namun sistem rekrutmen yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku juga perlu dipertanyakan. Sebab sistem rekrutmen yang dilakukan tidak memiliki filter untuk mewajibkan partai politik melakukan seleksi ketat terhadap bakal calon kepala daerah.
Seleksi calon kepala daerah seharusnya dilakukan dengan ketat, mengingat peran krusial mereka dalam menjembatani pembangunan daerah dan menentukan nasib rakyat selama lima tahun ke depan.
Proses seleksi yang ketat akan membantu memastikan bahwa hanya calon yang benar-benar kompeten dan berintegritas yang bisa maju dalam Pilkada. Hal ini akan membantu meminimalkan kemungkinan terpilihnya kepala daerah yang bermasalah.
Kita bisa belajar dari mekanisme seleksi pejabat publik lainnya, seperti calon hakim konstitusi dan hakim agung.
Dalam proses ini, calon tidak hanya harus menunjukkan kualitas dan kompetensi mereka, tetapi juga menjalani uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) yang ketat.
Begitu pula dengan seleksi komisioner KPK, KPU, dan Bawaslu yang mengikuti prosedur serupa.
Meskipun seleksi yang ketat tidak menjamin pejabat terpilih akan selalu berperilaku baik, setidaknya ini dapat menjadi filter awal untuk mendapatkan kandidat yang lebih berkualitas dan berintegritas.
Dalam hal bakal calon kepala daerah, pelaksanaan fit and proper test tentu harus berbeda dengan yang dilakukan dalam seleksi calon pejabat publik di lembaga-lembaga tersebut.
Untuk menjaga kualitas, fit and proper test, prosesnya harus dilakukan oleh kelompok profesional atau lembaga independen seperti perguruan tinggi.
Dalam hal ini, perguruan tinggi, dengan reputasi akademis dan integritas yang tinggi, mampu memberikan evaluasi yang mendalam terhadap kapasitas dan integritas calon.