JAKARTA, KOMPAS.com - Mahkamah Konstitusi (MK) menyoroti siasat pejabat negara yang juga ketua umum partai politik yang melakukan kampanye pada hari yang berdekatan dengan perjalanan dinas mereka.
Dalam sidang pembacaan putusan sengketa pemilihan presiden (Pilpres) 2024, MK menyoroti perjalanan dinas Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto yang melakukan pembagian sembako.
Pasalnya, setelah bagi-bagi sembako, Airlangga menghadiri kampanye Partai Golkar sebagai ketua umum dan hadir pada kegiatan yang dilakukan Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan dalam kegiatan APPSI di Semarang.
MK menilai, perlu dilakukan penyempurnaan aturan oleh pembentuk undang-undang.
Baca juga: MK: Tak Ada Relevansi Penyaluran Bansos dengan Peningkatan Perolehan Suara
"Pemerintah dan DPR perlu membuat pengaturan yang lebih jelas tentang aturan bagi pejabat negara yang juga merangkap sebagai anggota partai politik ataupun sebagai tim kampanye dalam melaksanakan kampanye yaitu pelaksanaan kampanye harus dilaksanakan terpisah, tidak dalam satu waktu kegiatan ataupun berhimpitan dengan waktu pelaksanaan tugas penyelenggaraan negara," kata Ketua MK Suhartoyo dalam sidang pembacaan putusan sengketa Pilpres 2024, Senin (22/4/2024).
"Kedua kegiatan tersebut tidak dapat dilakukan dalam waktu yang bersamaan maupun berhimpitan, karena berpotensi adanya terjadi pelanggaran pemilu dengan menggunakan fasilitas negara dalam kegiatan kampanye maupun menggunakan atribut kampanye dalam tugas penyelenggaraan negara menjadi terbuka lebar," ujarnya lagi.
Namun, Mahkamah menilai bahwa dalil pelanggaran kampanye yang dituduhkan terhadap Airlangga tidak terbukti dalam sidang pembuktian sengketa Pilpres 2024.
Baca juga: MK Ingatkan Bansos Tak Boleh Diklaim Bantuan Personal Presiden
Hanya saja, majelis hakim menilai, netralitas aparat adalah aspek penting dari prinsip demokrasi yang melindungi kebebasan politik dan partisipasi masyarakat dalam proses politik.
Tanpa netralitas, Suhartoyo mengatakan, demokrasi dapat terancam oleh otoritarianisme.
"Dalam konteks demikian, maka netralitas aparat dalam pemilu tidak hanya merupakan prinsip etis yang mendasar, tetapi juga krusial untuk menjaga kesehatan demokrasi dan stabilitas politik suatu negara," katanya.
Oleh karena itu, dalam rangka penataan ke depan, kesadaran dan pemahaman tentang penataan demokrasi, penyelenggaraan pemilu perlu mempertimbangkan tidak hanya aspek regulasi tetapi juga aspek etik para pemegang jabatan publik.
"Dengan demikian, diharapkan dapat membentuk sistem yang kuat untuk mengantisipasi ketidaknetralan aparatur negara dalam penyelenggaraan pemilu sekaligus memastikan proses pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil," ujar Suhartoyo.
Baca juga: MK: Seharusnya Presiden Berpikir, Bersikap, dan Bertindak Netral
Dalam gugatannya ke MK, baik Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud sama-sama meminta agar Prabowo-Gibran didiskualifikasi dan digelar pemungutan suara ulang.
Anies-Muhaimin juga memasukkan petitum alternatif, yakni diskualifikasi hanya untuk Gibran.
Gibran dianggap tak memenuhi syarat administrasi, sebab KPU RI memproses pencalonan Gibran menggunakan Peraturan KPU (PKPU) Nomor 19 Tahun 2023.
Dalam PKPU itu, syarat usia minimum masih menggunakan aturan lama sebelum putusan MK, yakni 40 tahun.
Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) juga telah menyatakan seluruh komisioner KPU RI melanggar etika dan menyebabkan ketidakpastian hukum terkait peristiwa itu.
Baca juga: MK: Putusan MKMK yang Copot Anwar Usman Bukan Bukti Nepotisme Jokowi
Di samping itu, Anies-Muhaimin dan Ganjar-Pranowo juga mendalilkan soal adanya pelanggaran yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif (TSM), juga terlanggarnya asas-asas pemilu di dalam UUD 1945 berkaitan dengan nepotisme yang dilakukan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan pengerahan sumber daya negara untuk bantu mendongkrak suara Prabowo-Gibran.
Diketahui, berdasarkan Keputusan KPU RI Nomor 360 Tahun 2024, pasangan calon (paslon) nomot urut 3, Ganjar-Mahfud hanya sanggup mengoleksi 27.040.878 suara atau sekitar 16,47 persen dari seluruh suara sah nasional.
Pasangan itu tertinggal jauh dari paslon nomor urut 2, Prabowo-Gibran yang memborong 96.214.691 suara atau sekitar 58,58 persen dari seluruh suara sah nasional.
Sementara itu, paslon nomor urut 1, Anies-Muhaimin mengantongi 40.971.906 suara atau sekitar 24,95 persen dari seluruh suara sah nasional.
Baca juga: MK: Endorsement Dapat Bermasalah jika Dilakukan Presiden
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.