Keretakan antara Megawati dan Jokowi semakin nyata ketika Jokowi merestui putra sulungnya, Gibran Raka Bumingraka, berpasangan dengan Prabowo Subianto sebagai cawapres.
Restu itu diberikan setelah Gibran mendapat karpet merah berkat putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang dipimpin pamannya. MK mengubah persyaratan capres/cawapres melalui putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023.
Padahal, Megawati telah mendeklarasikan Ganjar Pranowo sebagai capres yang hendak diusung oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).
Jokowi pun hadir saat deklarasi, 21 April 2023, pukul 13.45 WIB, hari istimewa bagi umat Islam di Indonesia.
Saat itu, sebagian umat Islam di Indonesia telah mengakhiri ibadah puasa Ramadhan dengan merayakan Idul Fitri, sebagian lain baru menggenapi puasa pada hari ketigapuluh dan esoknya ber-Idul Fitri.
Keretakan tersebut semakin mendalam dan meluas. Tak melulu sebagai isu internal dan urusan PDIP, tapi juga mengundang dan menjadi urusan publik.
Bagi PDIP, Jokowi dianggap bak Malin Kundang. Kesuksesan karier politiknya sejak wali kota Solo, gubernur DKI, dan presiden dua periode tak lepas dari partai asuhan Megawati itu.
Pun Gibran, putra sulung Jokowi, sebagai wali kota Solo. Menantunya pun demikian sebagai wali kota Medan.
Jokowi sering dipuji-puji sebagai kader terbaik PDIP. Jokowi juga selalu mendapatkan pembelaan secara politik dari PDIP terkait kritik-kritik politik terhadapnya.
Namun, ujungnya ternyata mengecewakan partai yang membesarkan dan membelanya secara politik selama Jokowi menduduki jabatan politik sejak wali kota Solo, gubernur DKI, dan presiden dua periode.
Sementara itu, buat publik, Jokowi dianggap telah membunuh harapan dan optimisme publik tentang masa depan demokrasi Indonesia. Jokowi pernah diidam-idamkan sebagai “role model” kepemimpinan demokrasi Indonesia.
Tapi, ujungnya justru membunuh harapan dan optimisme itu melalui politik dinasti dengan cara yang tak patut. Hukum dan etika ditabrak semata-mata hanya untuk memberi jalan bagi putra sulungnya sebagai cawapres Prabowo.
Cawe-cawe Jokowi pada Pilpres 2024 dianggap berlebihan, menjurus pada penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). Konflik politik meluas dan mendalam. Bukan hanya melukai keluarga besar PDIP sebagai partai yang membesarkannya, melainkan juga melukai publik yang berkepentingan terhadap masa depan demokrasi Indonesia.
Residu politik Pilpres 2024 lalu bukan hanya membebani Mahkamah Konstitusi (MK), melainkan juga masa depan demokrasi Indonesia.
MK harus mengadili sengketa pilpres yang bukan sekadar menyoal angka, melainkan menuntut keadilan substantif. Bukan sekadar “Mahkamah Kalkulator”, melainkan “fajar keadilan” yang menerangi sejarah demokrasi Indonesia.
Karena itu pula para profesor dari sejumlah kampus, budayawan/seniman, dan kalangan lain menyampaikan “amicus curiae” (sahabat pengadilan) kepada hakim MK.
Melihat begitu mendalam dan meluas residu politik Pilpres 2024, seyogyanya rekonsiliasi tidak secara formal belaka melalui putusan MK, melainkan secara budaya berbasis prinsip kebangsaan.
Rekonsiliasi politik itu perlu dilihat dalam perspektif integrasi sosial hingga aras budaya justru selaras dengan momen Idul Fitri.
Bukan sekadar basa-basi politik pada level elite yang biasanya cenderung kompromis dalam bentuk “bagi-bagi kekuasaan” (power sharing), melainkan juga memasuki dimensi “kesadaran kolektif” dengan berpegang pada nilai-nilai luhur bangsa Indonesia.