Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Andang Subaharianto
Dosen

Antropolog, dosen di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember, Rektor UNTAG Banyuwangi, Sekjen PERTINASIA (Perkumpulan Perguruan Tinggi Nasionalis Indonesia)

Rekonsiliasi Politik Pasca-Pilpres 2024 Berbasis Prinsip Kebangsaan

Kompas.com - 13/04/2024, 08:37 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Hal ini sesuai makna Idul Fitri itu sendiri yang menegaskan kesadaran menjadi manusia baru.

Kesadaran kolektif yang dimaksud bukan sekadar menerima begitu saja putusan MK sebagai institusi formal yang diberi mandat menyelesaikan sengketa pemilu, melainkan haruslah benar-benar berdimensi edukasi. Dari tingkatan elite hingga massa.

Saya menduga dua kemungkinan esensial putusan MK. Pertama, menolak pilpres ulang. Berarti kemenangan pasangan 02 (Prabowo-Gibran) akan berlanjut pada pelantikan presiden dan wakil presiden.

Kedua, mengabulkan permohonan pilpres ulang. Kemenangan pasangan 02 terhenti.

Dua kemungkinan tersebut memiliki efek politik berbeda. Namun, sama-sama serius menuntut kesadaran kolektif yang berdimensi edukasi agar upaya rekonsiliasi politik benar-benar membuahkan integrasi sosial.

Kita benar-benar diuji dan ditantang untuk merefleksikan dimensi edukasi dari efek politik yang timbul.

Dimensi edukasi itu meliputi dua hal pokok. Pertama, posisi politik masing-masing sehubungan dengan putusan MK.

Suka tidak suka, mau tak mau, pemilu harus berakhir dengan adanya pemenang yang sah. Putusan MK, apapun itu, adalah realitas sosial yang bisa dicapai. Boleh jadi mengalami kemajuan, atau kemunduran, dilihat dari sejarah peradaban bangsa.

Saya meyakini bahwa kita tak mau menanggapi putusan MK dengan mereproduksi konflik berkepanjangan yang melibatkan massa. Kita tak mau mengulang transisi rezim dengan meninggalkan luka begitu dalam, baik transisi ke Orde Baru maupun Reformasi.

Kedua, apapun putusan MK, putusan itu adalah akibat. Putusan itu dimohon oleh pihak yang merasa dirugikan, yang merasa mendapat perlakuan tidak adil.

Ada hal-hal yang dipandang tidak patut dalam proses Pilpres 2024. Ketidakpatutan itu dianggap bukan hanya merugikan kontestan, melainkan merugikan bangsa dari sudut masa depan demokrasi Indonesia. Dan, sejarah telah mencatatnya.

Menurut hemat saya, hal itu mestilah menjadi bahan belajar bangsa. Kita mestilah mampu merefleksikan secara kritis agar menjadi “bangsa (manusia) baru”.

Kita tidak boleh mereduksinya atas dasar putusan formal MK semata-mata, bila ternyata putusan MK tak mampu menjangkau keadilan substanstif yang diharapkan.

Ruang sidang MK bukanlah ruang hampa yang tak berbatas. MK tetap memiliki keterbatasan ruang dan instrumen pembuktian.

Faktanya ada putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023, yang secara formal justru menjadi titik awal sengketa Pilpres 2024. Keterbatasan itu tak boleh mereduksi dimensi edukasi sejarah Pilpres 2024.

Dua hal pokok dimensi edukatif di atas mestilah diperjuangkan menjadi kesadaran kolektif bangsa. Agar sejarah mencatat hanya keledai saja yang terperosok pada lubang yang sama dua kali.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Prabowo Beri Atensi Sektor Industri untuk Generasi Z yang Sulit Cari Kerja

Prabowo Beri Atensi Sektor Industri untuk Generasi Z yang Sulit Cari Kerja

Nasional
Komisi X Rapat Bareng Nadiem Makarim, Minta Kenaikan UKT Dibatalkan

Komisi X Rapat Bareng Nadiem Makarim, Minta Kenaikan UKT Dibatalkan

Nasional
Menaker Ida Paparkan 3 Tujuan Evaluasi Pelaksanaan Program Desmigratif

Menaker Ida Paparkan 3 Tujuan Evaluasi Pelaksanaan Program Desmigratif

Nasional
ICW Dorong Dewas KPK Jatuhkan Sanksi Berat, Perintahkan Nurul Ghufron Mundur dari Wakil Ketua KPK

ICW Dorong Dewas KPK Jatuhkan Sanksi Berat, Perintahkan Nurul Ghufron Mundur dari Wakil Ketua KPK

Nasional
Prabowo Disebut Punya Tim Khusus untuk Telusuri Rekam Jejak Calon Menteri

Prabowo Disebut Punya Tim Khusus untuk Telusuri Rekam Jejak Calon Menteri

Nasional
Reformasi yang Semakin Setengah Hati

Reformasi yang Semakin Setengah Hati

Nasional
Lemhannas Dorong Reaktualisasi Ketahanan Nasional Lewat 'Geo Crybernetic'

Lemhannas Dorong Reaktualisasi Ketahanan Nasional Lewat "Geo Crybernetic"

Nasional
Dewas KPK Tetap Bacakan Putusan Sidang Etik Nurul Ghufron Hari Ini

Dewas KPK Tetap Bacakan Putusan Sidang Etik Nurul Ghufron Hari Ini

Nasional
Sukseskan WWF 2024, Pertamina Group Paparkan Aksi Dukung Keberlanjutan Air Bersih

Sukseskan WWF 2024, Pertamina Group Paparkan Aksi Dukung Keberlanjutan Air Bersih

Nasional
ICW Dorong Dewas KPK Tetap Bacakan Putusan Kasus Nurul Ghufron, Sebut Putusan Sela PTUN Bermasalah

ICW Dorong Dewas KPK Tetap Bacakan Putusan Kasus Nurul Ghufron, Sebut Putusan Sela PTUN Bermasalah

Nasional
Anies Dinilai Sulit Cari Partai yang Mau Mengusungnya sebagai Cagub DKI Jakarta

Anies Dinilai Sulit Cari Partai yang Mau Mengusungnya sebagai Cagub DKI Jakarta

Nasional
PAN Klaim Dapat Jatah 4 Menteri, Zulkifli hingga Viva Yoga Mauladi

PAN Klaim Dapat Jatah 4 Menteri, Zulkifli hingga Viva Yoga Mauladi

Nasional
SYL Klaim Tak Pernah 'Cawe-cawe' soal Teknis Perjalanan Dinas

SYL Klaim Tak Pernah "Cawe-cawe" soal Teknis Perjalanan Dinas

Nasional
Ribut dengan Dewas KPK, Nurul Ghufron: Konflik Itu Bukan Saya yang Menghendaki

Ribut dengan Dewas KPK, Nurul Ghufron: Konflik Itu Bukan Saya yang Menghendaki

Nasional
Kemenag Kecewa 47,5 Persen Penerbangan Haji yang Gunakan Garuda Indonesia Alami Keterlambatan

Kemenag Kecewa 47,5 Persen Penerbangan Haji yang Gunakan Garuda Indonesia Alami Keterlambatan

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com