Hal ini sesuai makna Idul Fitri itu sendiri yang menegaskan kesadaran menjadi manusia baru.
Kesadaran kolektif yang dimaksud bukan sekadar menerima begitu saja putusan MK sebagai institusi formal yang diberi mandat menyelesaikan sengketa pemilu, melainkan haruslah benar-benar berdimensi edukasi. Dari tingkatan elite hingga massa.
Saya menduga dua kemungkinan esensial putusan MK. Pertama, menolak pilpres ulang. Berarti kemenangan pasangan 02 (Prabowo-Gibran) akan berlanjut pada pelantikan presiden dan wakil presiden.
Kedua, mengabulkan permohonan pilpres ulang. Kemenangan pasangan 02 terhenti.
Dua kemungkinan tersebut memiliki efek politik berbeda. Namun, sama-sama serius menuntut kesadaran kolektif yang berdimensi edukasi agar upaya rekonsiliasi politik benar-benar membuahkan integrasi sosial.
Kita benar-benar diuji dan ditantang untuk merefleksikan dimensi edukasi dari efek politik yang timbul.
Dimensi edukasi itu meliputi dua hal pokok. Pertama, posisi politik masing-masing sehubungan dengan putusan MK.
Suka tidak suka, mau tak mau, pemilu harus berakhir dengan adanya pemenang yang sah. Putusan MK, apapun itu, adalah realitas sosial yang bisa dicapai. Boleh jadi mengalami kemajuan, atau kemunduran, dilihat dari sejarah peradaban bangsa.
Saya meyakini bahwa kita tak mau menanggapi putusan MK dengan mereproduksi konflik berkepanjangan yang melibatkan massa. Kita tak mau mengulang transisi rezim dengan meninggalkan luka begitu dalam, baik transisi ke Orde Baru maupun Reformasi.
Kedua, apapun putusan MK, putusan itu adalah akibat. Putusan itu dimohon oleh pihak yang merasa dirugikan, yang merasa mendapat perlakuan tidak adil.
Ada hal-hal yang dipandang tidak patut dalam proses Pilpres 2024. Ketidakpatutan itu dianggap bukan hanya merugikan kontestan, melainkan merugikan bangsa dari sudut masa depan demokrasi Indonesia. Dan, sejarah telah mencatatnya.
Menurut hemat saya, hal itu mestilah menjadi bahan belajar bangsa. Kita mestilah mampu merefleksikan secara kritis agar menjadi “bangsa (manusia) baru”.
Kita tidak boleh mereduksinya atas dasar putusan formal MK semata-mata, bila ternyata putusan MK tak mampu menjangkau keadilan substanstif yang diharapkan.
Ruang sidang MK bukanlah ruang hampa yang tak berbatas. MK tetap memiliki keterbatasan ruang dan instrumen pembuktian.
Faktanya ada putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023, yang secara formal justru menjadi titik awal sengketa Pilpres 2024. Keterbatasan itu tak boleh mereduksi dimensi edukasi sejarah Pilpres 2024.
Dua hal pokok dimensi edukatif di atas mestilah diperjuangkan menjadi kesadaran kolektif bangsa. Agar sejarah mencatat hanya keledai saja yang terperosok pada lubang yang sama dua kali.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.