Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Andang Subaharianto
Dosen

Antropolog, dosen di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember, Rektor UNTAG Banyuwangi, Sekjen PERTINASIA (Perkumpulan Perguruan Tinggi Nasionalis Indonesia)

Rekonsiliasi Politik Pasca-Pilpres 2024 Berbasis Prinsip Kebangsaan

Kompas.com - 13/04/2024, 08:37 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

TAK ada yang aneh bila Idul Fitri – populer juga disebut “Lebaran” atau “Riyaya” – dimanfaatkan sebagai ajang rekonsiliasi. Para pihak yang sedang konflik, berselisih pendapat dan pendapatan, bertemu dan bertukar pikiran dengan maksud untuk mencari titik temu.

Begitulah salah satu makna dan kekuatan Idul Fitri dari sudut kebudayaan. Dalam perspektif Clifford Geertz, Idul Fitri memiliki fungsi integrasi sosial. Melalui Idul Fitri, keretakan sosial diintegrasikan kembali. Sistem sosial yang terganggu oleh berbagai hal dipulihkan kembali.

Integrasi sosial melalui cara budaya itu sudah mendarah-daging bagi masyarakat di Indonesia. Wujudnya bermacam-macam.

Hampir setiap komunitas budaya memiliki cara khas yang menyatukan kembali keretakan sosial atas dasar nilai-nilai luhur yang dikukuhi komunitas. Saya menyebutnya berbasis prinsip kebangsaan.

Di Jawa, misalnya, Geertz menemukan tradisi “slametan”. Semua tetangga diundang, dijamu dan diperlakukan secara sama, apapun haluan politik, agama, etnisnya. Semua duduk di atas tikar dan menyantap makanan yang sama. Tak ada zona VIP (Very Important Person) pada “slametan”.

Seseorang akan merasa “ewuh pakewuh”, merasa tidak enak, bila diundang tapi tidak datang karena berbeda pilihan politik, atau karena hal lain.

Tak ada perbincangan tentang perbedaan pilihan politik atau sumber konflik di sana, tapi “slametan” berhasil mengikat kembali keretakan sosial.

Kawan saya yang tokoh Islam secara berkelakar berujar, selama masyarakat masih mau “yasinan” dan “tahlilan”, niscaya aman.

Rekonsiliasi politik pasca-Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 hari-hari ini menarik perhatian publik. Kita patut mendukung upaya rekonsiliasi yang tak sekadar melalui jalan formal (hukum), tapi juga jalan budaya berbasis prinsip kebangsaan.

Sejak hari pertama Idul Fitri publik telah disuguhi kabar kunjungan para tokoh yang sedang berselisih secara politik. Ambil satu saja sebagai contoh, kunjungan Rosan Roeslani, Ketua Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran, ke rumah Megawati Soekarnoputri di hari pertama Idul Fitri.

Bahkan, Rosan Roeslani berkunjung hingga dua kali dalam sehari. Kunjungan itu boleh jadi menjadi pengantar pertemuan tiga tokoh kunci Pilpres 2024: Megawati Soekarnoputri, Prabowo Subianto dan Joko Widodo (Jokowi).

Jusuf Kalla pun memberi komentar positif atas kunjungan tersebut.

“Ya ini kan jamannya Idul Fitri siapa pun tidak boleh ditolak. Tapi, ya suatu pertanda-pertanda yang baik,” kata Jusuf Kalla (Kompas.com, 10/4/2024).

Residu politik

Pilpres 2024 terasa berbeda dengan pilpres-pilpres sebelumnya. Isu kecurangan dan pelanggaran tak sedalam dan seluas Pilpres 2024.

Banyak kalangan menilai, termasuk Jusuf Kalla, mantan wakil presiden dua kali, bahwa Pilpres 2024 terburuk dibandingkan pilpres-pilpres sebelumnya.

Isu kecurangan dan pelanggaran pada Pilpres 2024 menyeret Presiden Jokowi. Bukan hanya isu antarpasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres).

Jokowi dinilai cawe-cawe secara berlebihan, melampaui kepatutan secara hukum dan etika, demi kemenangan pasangan tertentu. Akibatnya, Pilpres 2024 dituduh penuh penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). Residu politiknya pun mendalam dan meluas.

Residu politik itu menumpuk sejak isu keretakan hubungan antara Megawati dan Jokowi jauh sebelum pendaftaran pasangan capres-cawapres.

Dari berita yang beredar di media massa, keretakan itu dipicu oleh penolakan Megawati atas pemikiran jabatan presiden tiga periode dan perpanjangan masa jabatan presiden.

Keretakan antara Megawati dan Jokowi semakin nyata ketika Jokowi merestui putra sulungnya, Gibran Raka Bumingraka, berpasangan dengan Prabowo Subianto sebagai cawapres.

Restu itu diberikan setelah Gibran mendapat karpet merah berkat putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang dipimpin pamannya. MK mengubah persyaratan capres/cawapres melalui putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023.

Padahal, Megawati telah mendeklarasikan Ganjar Pranowo sebagai capres yang hendak diusung oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).

Jokowi pun hadir saat deklarasi, 21 April 2023, pukul 13.45 WIB, hari istimewa bagi umat Islam di Indonesia.

Saat itu, sebagian umat Islam di Indonesia telah mengakhiri ibadah puasa Ramadhan dengan merayakan Idul Fitri, sebagian lain baru menggenapi puasa pada hari ketigapuluh dan esoknya ber-Idul Fitri.

Keretakan tersebut semakin mendalam dan meluas. Tak melulu sebagai isu internal dan urusan PDIP, tapi juga mengundang dan menjadi urusan publik.

Bagi PDIP, Jokowi dianggap bak Malin Kundang. Kesuksesan karier politiknya sejak wali kota Solo, gubernur DKI, dan presiden dua periode tak lepas dari partai asuhan Megawati itu.

Pun Gibran, putra sulung Jokowi, sebagai wali kota Solo. Menantunya pun demikian sebagai wali kota Medan.

Jokowi sering dipuji-puji sebagai kader terbaik PDIP. Jokowi juga selalu mendapatkan pembelaan secara politik dari PDIP terkait kritik-kritik politik terhadapnya.

Namun, ujungnya ternyata mengecewakan partai yang membesarkan dan membelanya secara politik selama Jokowi menduduki jabatan politik sejak wali kota Solo, gubernur DKI, dan presiden dua periode.

Sementara itu, buat publik, Jokowi dianggap telah membunuh harapan dan optimisme publik tentang masa depan demokrasi Indonesia. Jokowi pernah diidam-idamkan sebagai “role model” kepemimpinan demokrasi Indonesia.

Tapi, ujungnya justru membunuh harapan dan optimisme itu melalui politik dinasti dengan cara yang tak patut. Hukum dan etika ditabrak semata-mata hanya untuk memberi jalan bagi putra sulungnya sebagai cawapres Prabowo.

Cawe-cawe Jokowi pada Pilpres 2024 dianggap berlebihan, menjurus pada penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). Konflik politik meluas dan mendalam. Bukan hanya melukai keluarga besar PDIP sebagai partai yang membesarkannya, melainkan juga melukai publik yang berkepentingan terhadap masa depan demokrasi Indonesia.

Residu politik Pilpres 2024 lalu bukan hanya membebani Mahkamah Konstitusi (MK), melainkan juga masa depan demokrasi Indonesia.

MK harus mengadili sengketa pilpres yang bukan sekadar menyoal angka, melainkan menuntut keadilan substantif. Bukan sekadar “Mahkamah Kalkulator”, melainkan “fajar keadilan” yang menerangi sejarah demokrasi Indonesia.

Karena itu pula para profesor dari sejumlah kampus, budayawan/seniman, dan kalangan lain menyampaikan “amicus curiae” (sahabat pengadilan) kepada hakim MK.

Kesadaran kolektif

Melihat begitu mendalam dan meluas residu politik Pilpres 2024, seyogyanya rekonsiliasi tidak secara formal belaka melalui putusan MK, melainkan secara budaya berbasis prinsip kebangsaan.

Rekonsiliasi politik itu perlu dilihat dalam perspektif integrasi sosial hingga aras budaya justru selaras dengan momen Idul Fitri.

Bukan sekadar basa-basi politik pada level elite yang biasanya cenderung kompromis dalam bentuk “bagi-bagi kekuasaan” (power sharing), melainkan juga memasuki dimensi “kesadaran kolektif” dengan berpegang pada nilai-nilai luhur bangsa Indonesia.

Hal ini sesuai makna Idul Fitri itu sendiri yang menegaskan kesadaran menjadi manusia baru.

Kesadaran kolektif yang dimaksud bukan sekadar menerima begitu saja putusan MK sebagai institusi formal yang diberi mandat menyelesaikan sengketa pemilu, melainkan haruslah benar-benar berdimensi edukasi. Dari tingkatan elite hingga massa.

Saya menduga dua kemungkinan esensial putusan MK. Pertama, menolak pilpres ulang. Berarti kemenangan pasangan 02 (Prabowo-Gibran) akan berlanjut pada pelantikan presiden dan wakil presiden.

Kedua, mengabulkan permohonan pilpres ulang. Kemenangan pasangan 02 terhenti.

Dua kemungkinan tersebut memiliki efek politik berbeda. Namun, sama-sama serius menuntut kesadaran kolektif yang berdimensi edukasi agar upaya rekonsiliasi politik benar-benar membuahkan integrasi sosial.

Kita benar-benar diuji dan ditantang untuk merefleksikan dimensi edukasi dari efek politik yang timbul.

Dimensi edukasi itu meliputi dua hal pokok. Pertama, posisi politik masing-masing sehubungan dengan putusan MK.

Suka tidak suka, mau tak mau, pemilu harus berakhir dengan adanya pemenang yang sah. Putusan MK, apapun itu, adalah realitas sosial yang bisa dicapai. Boleh jadi mengalami kemajuan, atau kemunduran, dilihat dari sejarah peradaban bangsa.

Saya meyakini bahwa kita tak mau menanggapi putusan MK dengan mereproduksi konflik berkepanjangan yang melibatkan massa. Kita tak mau mengulang transisi rezim dengan meninggalkan luka begitu dalam, baik transisi ke Orde Baru maupun Reformasi.

Kedua, apapun putusan MK, putusan itu adalah akibat. Putusan itu dimohon oleh pihak yang merasa dirugikan, yang merasa mendapat perlakuan tidak adil.

Ada hal-hal yang dipandang tidak patut dalam proses Pilpres 2024. Ketidakpatutan itu dianggap bukan hanya merugikan kontestan, melainkan merugikan bangsa dari sudut masa depan demokrasi Indonesia. Dan, sejarah telah mencatatnya.

Menurut hemat saya, hal itu mestilah menjadi bahan belajar bangsa. Kita mestilah mampu merefleksikan secara kritis agar menjadi “bangsa (manusia) baru”.

Kita tidak boleh mereduksinya atas dasar putusan formal MK semata-mata, bila ternyata putusan MK tak mampu menjangkau keadilan substanstif yang diharapkan.

Ruang sidang MK bukanlah ruang hampa yang tak berbatas. MK tetap memiliki keterbatasan ruang dan instrumen pembuktian.

Faktanya ada putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023, yang secara formal justru menjadi titik awal sengketa Pilpres 2024. Keterbatasan itu tak boleh mereduksi dimensi edukasi sejarah Pilpres 2024.

Dua hal pokok dimensi edukatif di atas mestilah diperjuangkan menjadi kesadaran kolektif bangsa. Agar sejarah mencatat hanya keledai saja yang terperosok pada lubang yang sama dua kali.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Berjasa dalam Kemitraan Indonesia-Korsel, Airlangga Raih Gelar Doktor Honoris Causa dari GNU

Berjasa dalam Kemitraan Indonesia-Korsel, Airlangga Raih Gelar Doktor Honoris Causa dari GNU

Nasional
Nadiem Ingin Datangi Kampus Sebelum Revisi Aturan yang Bikin UKT Mahal

Nadiem Ingin Datangi Kampus Sebelum Revisi Aturan yang Bikin UKT Mahal

Nasional
Saksi Kemenhub Sebut Pembatasan Kendaraan di Tol MBZ Tak Terkait Kualitas Konstruksi

Saksi Kemenhub Sebut Pembatasan Kendaraan di Tol MBZ Tak Terkait Kualitas Konstruksi

Nasional
Puan Maharani: Parlemen Dunia Dorong Pemerintah Ambil Langkah Konkret Atasi Krisis Air

Puan Maharani: Parlemen Dunia Dorong Pemerintah Ambil Langkah Konkret Atasi Krisis Air

Nasional
Hari ke-10 Keberangkatan Haji: 63.820 Jemaah Tiba di Madinah, 7 Orang Wafat

Hari ke-10 Keberangkatan Haji: 63.820 Jemaah Tiba di Madinah, 7 Orang Wafat

Nasional
Jokowi: Butuh 56 Bangunan Penahan Lahar Dingin Gunung Marapi, Saat Ini Baru Ada 2

Jokowi: Butuh 56 Bangunan Penahan Lahar Dingin Gunung Marapi, Saat Ini Baru Ada 2

Nasional
Kapal Perang Perancis FREMM Bretagne D655 Bersandar di Jakarta, Prajurit Marinir Berjaga

Kapal Perang Perancis FREMM Bretagne D655 Bersandar di Jakarta, Prajurit Marinir Berjaga

Nasional
Erupsi Gunung Ibu, BNPB Kirim 16 Juta Ton Bantuan Logistik untuk 1.554 Pengungsi

Erupsi Gunung Ibu, BNPB Kirim 16 Juta Ton Bantuan Logistik untuk 1.554 Pengungsi

Nasional
Pesawat Terlambat Bisa Pengaruhi Layanan Jemaah Haji di Makkah

Pesawat Terlambat Bisa Pengaruhi Layanan Jemaah Haji di Makkah

Nasional
Indonesia-Vietnam Kerja Sama Pencarian Buron hingga Perlindungan Warga Negara

Indonesia-Vietnam Kerja Sama Pencarian Buron hingga Perlindungan Warga Negara

Nasional
Survei IDEAS: Penghasilan 74 Persen Guru Honorer di Bawah Rp 2 Juta

Survei IDEAS: Penghasilan 74 Persen Guru Honorer di Bawah Rp 2 Juta

Nasional
Dewas KPK Tunda Putusan Sidang Etik Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron

Dewas KPK Tunda Putusan Sidang Etik Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron

Nasional
Jokowi Minta Relokasi Rumah Warga Terdampak Banjir di Sumbar Segera Dimulai

Jokowi Minta Relokasi Rumah Warga Terdampak Banjir di Sumbar Segera Dimulai

Nasional
JK Sampaikan Duka Cita Wafatnya Presiden Iran Ebrahim Raisi

JK Sampaikan Duka Cita Wafatnya Presiden Iran Ebrahim Raisi

Nasional
PKS: Kami Berharap Pak Anies Akan Dukung Kader PKS Sebagai Cagub DKJ

PKS: Kami Berharap Pak Anies Akan Dukung Kader PKS Sebagai Cagub DKJ

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com