Pertama, dunia sedang dihadapi kian berkembangnya ideologi neoliberalisme. Umat manusia terpecah antara winner dan loser.
Di Indonesia, bisa disaksikan yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin tertinggal. Kesenjangan sosial makin kentara.
Dunia terbagi antara negara yang bisa menarik modal dan akan maju terus. Sementara sejumlah negara Afrika berpotensi menjadi failed state.
Akibat dari praktik neoliberalisme, muncul ketelantaran dan keputusasaan. Gelombang pengungsi terjadi di sejumlah tempat. Cepat atau lambat akan menjadi masalah besar bagi dunia.
Tantangan ketiga adalah ekstremisme ideologis-agamis. Di sejumlah negara Afrika, banyak negara kacau. Keamanan tak terjamin. Aparat keamanan tak bisa lagi mengelola wilayahnya.
Kegagalan demokrasi, kegagalan menciptakan kedamaian dan kesejahteraan, bisa memunculkan kekerasan, intoleransi, eksklusivisme, dan terorisme.
Tantangan keempat adalah keambrukan lingkungan hidup alami. Jika sampai tahun 2030 pembatasan kenaikan suhu udara pada 1,5 derajat celsius tak tercapai, malapetaka global tak terhindarkan.
Tantangan kelima adalah perkembangan artificial intelligence. Apakah perkembangan artificial intelligence akan memperbesar kesenjangan sosial atau seperti apa.
Dan, bagaimana dengan nasib manusia itu sendiri. Terbayangkan era post-human yang bakal terbentuk?
Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir dalam acara Gagas RI pernah juga mengemukakan. Kemiskinan, kesenjangan sosial-ekonomi merupakan masalah kemanusiaan besar yang tidak boleh dibiarkan atau dipandang sebagai masalah pinggiran.
Apalagi jika ketiga masalah itu berdampingan dengan pragmatisme politik yang melahirkan oligarki, transaksi politik sesaat, korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan, serta berbagai bentuk eksploitasi. Itu semua menggambarkan keserakahan manusia di era post-kolonialisme.
Haedar menyebut tiga agenda krusial bangsa. Pertama, korupsi yang menggila. Kedua, utang luar negeri mendekati angka Rp 8.000 triliun yang menurut pemerintah tetap dalam posisi aman terkendali, tetapi bagi pihak lain mencemaskan. Ketiga, kesenjangan ekonomi dan kemiskinan.
Revolusi Mental manusia Indonesia yang pernah digagas Presiden Jokowi seharusnya menjadi agenda pembangunan manusia Indonesia. Sayang, Revolusi Mental sepertinya hanya untuk political marketing belaka, yang tidak serius dijalankan.
Manusia Indonesia 2024 boleh jadi masih sama dengan pidato kebudayaan Mochtar Lubis tahun 1977.
Wajah Manusia Indonesia versi Mochtar Lubis adalah (1) hipokrit dan munafik, (2) Enggan bertanggung jawab atas perbuatannya, (3) berjiwa feodal, (4) percaya takhyul, (5) artistic, (6) berwatak lemah.
Bukankah peristiwa politik kontemporer mempertegaskan ciri khas manusia Indonesia ini.
Dalam keprihatinan bangsa seperti itulah, rasanya pertemuan Prabowo-Megawati menjadi relevan. Pertemuan untuk merumuskan peta jalan melanjutkan pembangunan manusia Indonesia, bukan hanya sekadar power sharing belaka.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.