MK mengambil langkah progresif. Empat menteri Presiden Jokowi, yakni Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, dan Menteri Sosial Tri Risma Harini dipanggil ke persidangan.
Hakim MK mempertanyakan sejumlah hal, yang juga menjadi pertanyaan publik, dalam forum terhormat dan konstitusional.
Persidangan di MK sedikit banyak memberikan gambaran lebih luas kepada publik mengenai jalannya proses Pemilu Presiden 2024.
Jalannya proses pemilu ternyata tidak seindah digambarkan lembaga survei atau klaim pasangan calon. Ada beberapa masalah yang bisa mengganggu jalannya pemilu sebagai free and fair.
Ada andil MK dalam kontroversi Pemilu 2024. Putusan MK yang menambahkan syarat pencalonan presiden dan wapres telah menjadi catatan sejarah bangsa ini. Dan itu akan terus melekat.
Putusan MK telah membuka jalan bagi Gibran Rakabuming Raka menjadi calon wakil presiden, meski belum berusia 40 tahun. Gibran adalah anak Presiden Jokowi dan Anwar Usman adalah paman Gibran.
Putusan MK – di mana terjadi perdebatan keras di kalangan sembilan hakim konstitusi – tiga hakim dissenting opinion, dua hakim concurring opinion – mengantarkan Gibran menjadi memenuhi syarat sebagai calon wapres.
Putusan MK itu kontroversial dan menjadi bahan perdebatan dalam sidang Mahkamah saat ini. MK yang memulai, MK pula yang harus mengakhiri.
Dalam suasana kebatinan itulah, elite politik mendorong pertemuan antara Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri dan Presiden terpilih Prabowo Subianto.
Sejumlah elite PDIP dan Partai Gerindra sama-sama mengamini rencana pertemuan antara Prabowo dan Presiden kelima Megawati.
Hubungan Prabowo dan Megawati tercatat baik-baik saja. Megawati dan Prabowo pernah berpasangan sebagai capres dan cawapres dalam Pemilu 2009.
Kepulangan Prabowo dari Yordania ke Tanah Air juga sedikit banyak ada jasa Megawati. Prabowo dalam sejumlah kesempatan mengakui jasa Megawati kepada bangsa ini.
Kapan pertemuan bakal terjadi, tampaknya masih terus dicari titik temu. Ada yang mengatakan setelah selesai putusan MK, pada 22 April 2024.
MK akan membacakan putusan sengketa Pemilu 2024 pada 22 April 2024. Dalam putusannya, MK bisa saja menolak permohonan pasangan No 01 dan No 03 dan Prabowo-Gibran akan menjadi pasangan capres dan cawapres terpilih.
Namun seandainya, MK mengambil putusan berbeda, boleh jadi dinamika politik akan berbeda.
Pada sisi lain, MK membutuhkan pemulihan citra lembaganya setelah babak-belur dalam putusan pelanggaran etik yang dialami Anwar Usman. MK juga butuh mereposisi posisi politik dalam Pemilu 2024 daripada bakal tercatat dalan sejarah sepanjang segala abad.
Ada yang berharap sebelum Idul Fitri atau pada saat Idul Fitri menjadi momentum pas untuk pertemuan dua tokoh bangsa, pemimpin partai politik.
Namun, memang akan terasa lebih pas jika pertemuan elite itu dilakukan setelah semua duduknya masalah sudah terang benderang. MK yang punya tugas konstitusional untuk menjadikan semua problematika pemilu menjadi punya legitimasi yuridis.
Akan lebih bijak jika pertemuan Prabowo-Megawati itu bukan hanya membicarakan soal power sharing dan nasib hak angket yang layu sebelum berkembang. Namun bagaimana negeri ini ingat kembali akan jati dirinya, akan konstitusi, akan Tap MPR.
Ada elite politik yang memaknai pertemuan itu sebagai pertemuan rekonsiliasi. Namun akan lebih baik jika pertemuan itu juga menyampaikan pesan rekonsiliasi di akar rumput dengan menyampaikan peta jalan bagaimana menata kembali kehidupan berbangsa dan bernegara.
Membumikan kembali pesan MPR tahun 2001 soal etika kehidupan berbangsa dan bernegara. Etika dan moralitas harus diakui telah jauh ditinggalkan dalam kehidupan kebangsaan.
Keteladanan elite yang kerap berbicara berubah-ubah sesuai waktu dan kepentingan menjadi kelemahan elite bangsa.
Budaya malu (shame culture) bagi yang melanggar etika, melanggar norma telah lenyap sebagai karakter bangsa. Budaya mundur sebagai representasi dari sikap bertanggung jawab, sangat jauh dari sikap-sikap elite bangsa.
Pada sisi lain, nepotisme dan korupsi penyakit bangsa yang dihancurkan gerakan Reformasi Mei 1998, kini dipraktikkan lagi, tanpa malu-malu.
Praktik politik balas budi bisa disaksikan publik dalam tindakan politik bagi-bagi jabatan. Kekayaan alam yang sejatinya dikuasai oleh negara sebagaimana diamanat pasal 33 UUD 1945 telah menjadi bancakan elite pengusaha dan elite negeri.
Padahal pasal 33 UUD 1945 masih berlaku. “Bumi dan air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan untuk sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat.”
Lalu bagaimana menjelaskan teks Pasal 33 UUD 1945 dengan skandal penambangan timah yang merugikan kondisi lingkungan hingga Rp 271 triliun.
Angka Rp 271 triliun adalah angka perkiraan kerugian akibat rusaknya lingkungan hidup karena penambangan ugal-ugalan.
Harvey Moeis kemudian ditangkap Kejaksaan Agung. Strategi follow the money perlu dilakukan agar siapapun yang mendapat aliran uang itu bisa dimintai pertanggungjawaban.
Frase “bumi dan air dikuasai negara” amat jauh dari realita. Negeri ini telah menjadi bancakan dari elite negeri untuk mengeksploitasi bumi untuk memperkaya diri dan kelompok negeri.
Penindakan kasus timah di Bangka haruslah berdasarkan rule of law bukan rule by law, untuk melancarkan pergantian pemain.
Pertemuan Prabowo-Megawati selayaknya membicarakan bagaimana kerusakan institusi hukum bisa diperbaiki.
Ketika MK remuk redam, ketika MA tak bebas dari korupsi, ketika Ketua KPK menjadi tersangka, ketika Polri dicederai dengan skandal Sambo, seharusnya menjadi concern elite negeri.
Pertemuan Megawati-Prabowo selayaknya dilatarbelakangi dengan keprihatinan bagaimana bangsa ini menghadapi tantangan global. Keprihatinan telah disuarakan sejumlah guru besar di kampus-kampus.
Franz Magnis Suseno dalam sebuah kesempatan pernah memformulasikan lima tantangan global yang harus dijawab.
Pertama, dunia sedang dihadapi kian berkembangnya ideologi neoliberalisme. Umat manusia terpecah antara winner dan loser.
Di Indonesia, bisa disaksikan yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin tertinggal. Kesenjangan sosial makin kentara.
Dunia terbagi antara negara yang bisa menarik modal dan akan maju terus. Sementara sejumlah negara Afrika berpotensi menjadi failed state.
Akibat dari praktik neoliberalisme, muncul ketelantaran dan keputusasaan. Gelombang pengungsi terjadi di sejumlah tempat. Cepat atau lambat akan menjadi masalah besar bagi dunia.
Tantangan ketiga adalah ekstremisme ideologis-agamis. Di sejumlah negara Afrika, banyak negara kacau. Keamanan tak terjamin. Aparat keamanan tak bisa lagi mengelola wilayahnya.
Kegagalan demokrasi, kegagalan menciptakan kedamaian dan kesejahteraan, bisa memunculkan kekerasan, intoleransi, eksklusivisme, dan terorisme.
Tantangan keempat adalah keambrukan lingkungan hidup alami. Jika sampai tahun 2030 pembatasan kenaikan suhu udara pada 1,5 derajat celsius tak tercapai, malapetaka global tak terhindarkan.
Tantangan kelima adalah perkembangan artificial intelligence. Apakah perkembangan artificial intelligence akan memperbesar kesenjangan sosial atau seperti apa.
Dan, bagaimana dengan nasib manusia itu sendiri. Terbayangkan era post-human yang bakal terbentuk?
Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir dalam acara Gagas RI pernah juga mengemukakan. Kemiskinan, kesenjangan sosial-ekonomi merupakan masalah kemanusiaan besar yang tidak boleh dibiarkan atau dipandang sebagai masalah pinggiran.
Apalagi jika ketiga masalah itu berdampingan dengan pragmatisme politik yang melahirkan oligarki, transaksi politik sesaat, korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan, serta berbagai bentuk eksploitasi. Itu semua menggambarkan keserakahan manusia di era post-kolonialisme.
Haedar menyebut tiga agenda krusial bangsa. Pertama, korupsi yang menggila. Kedua, utang luar negeri mendekati angka Rp 8.000 triliun yang menurut pemerintah tetap dalam posisi aman terkendali, tetapi bagi pihak lain mencemaskan. Ketiga, kesenjangan ekonomi dan kemiskinan.
Revolusi Mental manusia Indonesia yang pernah digagas Presiden Jokowi seharusnya menjadi agenda pembangunan manusia Indonesia. Sayang, Revolusi Mental sepertinya hanya untuk political marketing belaka, yang tidak serius dijalankan.
Manusia Indonesia 2024 boleh jadi masih sama dengan pidato kebudayaan Mochtar Lubis tahun 1977.
Wajah Manusia Indonesia versi Mochtar Lubis adalah (1) hipokrit dan munafik, (2) Enggan bertanggung jawab atas perbuatannya, (3) berjiwa feodal, (4) percaya takhyul, (5) artistic, (6) berwatak lemah.
Bukankah peristiwa politik kontemporer mempertegaskan ciri khas manusia Indonesia ini.
Dalam keprihatinan bangsa seperti itulah, rasanya pertemuan Prabowo-Megawati menjadi relevan. Pertemuan untuk merumuskan peta jalan melanjutkan pembangunan manusia Indonesia, bukan hanya sekadar power sharing belaka.
https://nasional.kompas.com/read/2024/04/06/06000041/berharap-substansi-pertemuan-prabowo-dan-megawati