MENTERI Keuangan Sri Mulyani dalam suatu konferensi pers, memberitahukan bahwa “Tahun ini, 2024, bansos di dalam APBN nilainya Rp 496 triliun jadi beda Rp 20 triliun.” Duit sebanyak itu karuan saja rentan dimanfatakan oleh kepentingan lain.
Dari itu bantuan sosial (bansos) telah menjadi subjek perdebatan hangat, terutama menjelang pelaksanaan Pilkada, antara dua lembaga penting dalam pemerintahan Indonesia: Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK).
Dalam rapat koordinasi nasional pemberantasan korupsi pemerintah daerah dan peluncuran Monitoring Center for Prevention (MCP) 2024 di Gedung KPK, Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata, menyoroti kebutuhan akan peraturan daerah (perda) yang mengatur penyaluran bansos menjelang Pilkada 2024.
Marwata berpendapat bahwa bansos sebaiknya tidak disalurkan sekitar 2-3 bulan menjelang pemungutan suara, mengingat potensi penyalahgunaan yang dapat terjadi.
Namun, Menko Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK), Muhadjir Effendy, memiliki pandangan berbeda.
Effendy menolak usulan Marwata dengan alasan bahwa menghentikan penyaluran bansos di waktu yang ditentukan tidaklah bijak, mengingat telah ada regulasi dan target yang telah ditetapkan. Pernyataan ini disampaikannya kepada wartawan di Kemenko PMK, Jakarta Pusat.
Namun, pendapat yang berlainan datang dari pendiri Jaga Pemilu, Luky Djan. Djan berpendapat bahwa penghentian penyaluran bansos seharusnya dilakukan bukan dalam waktu 2 bulan sebelum Pilkada 2024, melainkan 6 bulan sebelumnya.
Menurutnya, langkah ini akan lebih efektif dalam mencegah praktik korupsi yang terkait dengan bansos.
Bansos menjadi salah satu instrumen vital dalam upaya pemerintah Indonesia untuk mengurangi tingkat kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya.
Namun, sayangnya, bansos sering kali dieksploitasi untuk kepentingan politik, terutama menjelang pemilihan umum (pemilu) maupun pemilihan kepala daerah (pilkada).
Saat menjelang pemilu atau pilkada, bansos sering dijadikan alat oleh para politisi untuk mendapatkan dukungan politik dari masyarakat. Praktik ini seringkali berupa pembagian bansos secara masif dengan tujuan mendapatkan simpati dan dukungan suara dari penerima bansos.
Politisi sering menggunakan momen penyaluran bansos sebagai ajang kampanye politik informal, yang dapat menciptakan ketidakadilan dan ketimpangan dalam proses politik.
Tidak hanya pada tingkat nasional, dalam konteks politik lokal, penyaluran bansos menjelang pilkada juga menjadi perhatian utama.
Para calon kepala daerah atau tim suksesnya seringkali memanfaatkan penyaluran bansos sebagai strategi untuk memperoleh popularitas dan dukungan politik di tingkat daerah.
Praktik ini dapat berupa pembagian bansos secara selektif kepada pendukung politik tertentu, atau bahkan menggunakan bansos sebagai alat untuk memaksa masyarakat memberikan dukungan politik.