Jika dahulu partai politik itu benar-benar berakar pada rakyat dan para aktivisnya memperoleh dukungan moral-finansial dari rakyat, sekarang posisi partai politik cenderung berada sebagai bagian dari jejaring kekuasaan pemerintah dan sangat bersahabat dengan pemilik modal besar.
Memang masih ada dukungan rakyat pada partai politik, namun kekuatannya tak lagi dominan—mungkin sekadar pelengkap dan ornamen demokrasi.
Jika dahulu para tokoh agama dan pergerakan sosial memiliki pengaruh besar terhadap rakyat, sekarang kepemimpinan dipegang oleh pejabat formal sebagai perpanjangan tangan negara, yang batas waktunya tertulis dalam surat keputusan yang dikeluarkan oleh pemerintah.
Jika dirunut dari atas, pemimpin formal itu dimulai dari presiden, gubernur, bupati, camat, dan lurah. Di samping itu, ada lagi alat negara berupa polisi dan tentara sejak dari tingkat pusat sampai kecamatan.
Secara normatif mereka tak perlu meminta dukungan finansial dari rakyat karena sudah dianggarkan dalam APBN.
Adapun lembaga DPR yang secara normatif merupakan wakil rakyat, pada praktiknya mereka adalah wakil partai, sedangkan partai lebih dekat bermitra dengan pemerintah dan pengusaha.
Pemimpin dan penguasa formal ini cantolannya ke atas, memperoleh jabatan atas penugasan dari presiden. Makanya sering dibedakan antara penguasa dan pemimpin. Penguasa itu tangannya bergantung ke atas, sedangkan pemimpin itu muncul karena dukungan rakyat.
Tentu saja terdapat sedikit orang yang dalam dirinya bertemu prediket penguasa dan sekaligus juga pemimpin.
Secara teoritis, seorang presiden pun dipilih oleh rakyat. Namun, di sana terdapat peran partai politik yang lebih menentukan dalam proses pemilihan presiden sehingga kedaulatan rakyat mungkin sudah diambil alih oleh partai politik yang loyalitasnya terhadap rakyat kadang dipertanyakan.
Jika dulu rakyat rela menyumbangkan uang untuk para aktivis politik, sekarang situasinya berbalik. Justru para politisi yang membeli suara rakyat. Dengan kata lain, tidak terlalu salah jika dikatakan yang berdaulat saat ini adalah pejabat pemerintah dan uang.
Meski Anda seorang yang pintar, berintegritas, dan memiliki bakat pemimpin, jika tidak memiliki dan tidak mau mengeluarkan uang untuk mengejar jabatan, Anda akan tetap jadi rakyat biasa.
Tentu saja ada beberapa orang profesional yang diangkat sebagai pembantu presiden untuk menduduki jabatan-jabatan strategis. Tetapi jumlahnya sedikit. Kebanyakan jabatan itu diraih dari hasil negosisasi atau kompromi antara partai politik dan presiden pemenang pemilu.
Indonesia dengan masyarakatnya yang besar dan majemuk ini, pilihan terbaik adalah menerapkan sistem demokrasi.
Namun, kita pun sadar bahwa di berbagai negara yang tingkat demokrasinya belum matang, yang terjadi baru sebatas demokrasi prosedural atau pseudo-demokrasi. Pura-pura berdemokrasi.
Untuk konteks Indonesia sebagai negara kepulauan, hal ini mudah dipahami. Warga negaranya yang plural dan tersebar di berbagai pulau, sementara tingkat pendidikan dan ekonomi rakyat tidak merata, maka—ibarat lahan tanah—Bumi Indonesia belum kondusif ditanami benih dan bibit demokrasi.