Salin Artikel

Pergeseran Makna Rakyat dan Fenomena Malin Kundang

PEMAHAMAN dan ingatan saya tentang rakyat kelihatannya tak lagi cocok untuk memahami makna dan peran rakyat yang berlangsung hari ini.

Almarhum ayah saya termasuk anggota tentara perjuangan kemerdekaan sering mendongeng pengalaman bergerilya. Kadang dia bersembunyi di rumah warga kampung sambil mendapatkan makanan.

Ketika dikejar-kejar Belanda, para tentara itu menyamar sebagai petani sawah, mengenakan pakaian kusut, tinggal dan makan di rumah rakyat. Itu dilakukan untuk kengelabui musuh.

Sedemikian dekatnya hubungan antara rakyat dan tentara sehingga antara keduanya tak bisa dipisahkan. Sampai-sampai muncul ungkapan, tentara adalah anak kandung rakyat. Tentara Indonesia lahir dari rahim rakyat, tumbuh dalam asuhan rakyat.

Begitu pun para pejuang politik, baik mereka yang tergabung dalam partai politik maupun organisasi kemasyarakatan, hati dan pikirannya mewakili dan menyuarakan aspirasi rakyat. Kakinya berdiri dan menginjak di bumi rakyat.

Dengan sukarela rakyat iuran menyumbang bagi para pejuang kemerdekaan. Bahkan di antara pemudanya rela berkorban nyawa demi meraih kemerdekaan, mirip yang terjadi di tanah Palestina hari ini.

Meskipun, sejak dulu ada saja orang yang lebih memihak menjual diri pada penguasa Belanda semata demi mendapatkan imbalan uang dan jabatan, ikut serta menginjak dan memeras rakyat nusantara.

Hari ini, hubungan antara rakyat dan politisi telah mengalami pergeseran.

Pergeseran pusat kekuasaan

Dengan lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), muncul pusat kekuasaan baru yang sangat dahsyat yang bernama negara. Meskipun, sesungguhnya negara merupakan anak kandung rakyat Nusantara.

Ibarat bangunan rumah besar, Indonesia berdiri di atas fondasi yang disiapkan dan ditata oleh rakyat, termasuk berupa pengorbanan para dinasti atau sultan yang menjadi penguasa daerah waktu itu. Dari Sultan di Aceh sampai Ternate, mereka secara sukarela membubarkan diri demi NKRI.

Sekian banyak kemewahan yang mereka miliki dan nikmati sejak dari singgasana, jabatan, kekuasaan dan aset tanah yang luas, semuanya diserahkan pada negara di bawah kendali kekuasaan seorang presiden dan para aparat pembantunya.

Saat ini simbol dari dinastiisme yang masih bertahan adalah Kesultanan Yogyakarta yang menyandang status Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang dipimpin oleh Sultan HB ke-10.

Sangat besar peran dan kontribusi Kesultanan Yogyakarta pada pembentukan Republik Indonesia. Sedangkan kesultanan lainnya menjadi cagar budaya.

Sekalipun secara teoritis kedaulatan itu masih tetap milik rakyat dan berada di tangan rakyat, namun sejak kemunculan negara maka kedaulatan dan legalitas politik berada di tangan pemerintah yang dibentuk melalui proses pemilihan umum yang diikuti oleh partai politik.

Secara retorik, partai politik merupakan perpanjangan suara rakyat. Hanya saja, rakyat dan partai politik hari ini sudah mengalami pergeseran makna dan peran.

Jika dahulu partai politik itu benar-benar berakar pada rakyat dan para aktivisnya memperoleh dukungan moral-finansial dari rakyat, sekarang posisi partai politik cenderung berada sebagai bagian dari jejaring kekuasaan pemerintah dan sangat bersahabat dengan pemilik modal besar.

Memang masih ada dukungan rakyat pada partai politik, namun kekuatannya tak lagi dominan—mungkin sekadar pelengkap dan ornamen demokrasi.

Jika dahulu para tokoh agama dan pergerakan sosial memiliki pengaruh besar terhadap rakyat, sekarang kepemimpinan dipegang oleh pejabat formal sebagai perpanjangan tangan negara, yang batas waktunya tertulis dalam surat keputusan yang dikeluarkan oleh pemerintah.

Jika dirunut dari atas, pemimpin formal itu dimulai dari presiden, gubernur, bupati, camat, dan lurah. Di samping itu, ada lagi alat negara berupa polisi dan tentara sejak dari tingkat pusat sampai kecamatan.

Secara normatif mereka tak perlu meminta dukungan finansial dari rakyat karena sudah dianggarkan dalam APBN.

Adapun lembaga DPR yang secara normatif merupakan wakil rakyat, pada praktiknya mereka adalah wakil partai, sedangkan partai lebih dekat bermitra dengan pemerintah dan pengusaha.

Pemimpin dan penguasa formal ini cantolannya ke atas, memperoleh jabatan atas penugasan dari presiden. Makanya sering dibedakan antara penguasa dan pemimpin. Penguasa itu tangannya bergantung ke atas, sedangkan pemimpin itu muncul karena dukungan rakyat.

Tentu saja terdapat sedikit orang yang dalam dirinya bertemu prediket penguasa dan sekaligus juga pemimpin.

Secara teoritis, seorang presiden pun dipilih oleh rakyat. Namun, di sana terdapat peran partai politik yang lebih menentukan dalam proses pemilihan presiden sehingga kedaulatan rakyat mungkin sudah diambil alih oleh partai politik yang loyalitasnya terhadap rakyat kadang dipertanyakan.

Jika dulu rakyat rela menyumbangkan uang untuk para aktivis politik, sekarang situasinya berbalik. Justru para politisi yang membeli suara rakyat. Dengan kata lain, tidak terlalu salah jika dikatakan yang berdaulat saat ini adalah pejabat pemerintah dan uang.

Meski Anda seorang yang pintar, berintegritas, dan memiliki bakat pemimpin, jika tidak memiliki dan tidak mau mengeluarkan uang untuk mengejar jabatan, Anda akan tetap jadi rakyat biasa.

Tentu saja ada beberapa orang profesional yang diangkat sebagai pembantu presiden untuk menduduki jabatan-jabatan strategis. Tetapi jumlahnya sedikit. Kebanyakan jabatan itu diraih dari hasil negosisasi atau kompromi antara partai politik dan presiden pemenang pemilu.

Fenomena Malin Kundang

Indonesia dengan masyarakatnya yang besar dan majemuk ini, pilihan terbaik adalah menerapkan sistem demokrasi.

Namun, kita pun sadar bahwa di berbagai negara yang tingkat demokrasinya belum matang, yang terjadi baru sebatas demokrasi prosedural atau pseudo-demokrasi. Pura-pura berdemokrasi.

Untuk konteks Indonesia sebagai negara kepulauan, hal ini mudah dipahami. Warga negaranya yang plural dan tersebar di berbagai pulau, sementara tingkat pendidikan dan ekonomi rakyat tidak merata, maka—ibarat lahan tanah—Bumi Indonesia belum kondusif ditanami benih dan bibit demokrasi.

Budaya feodalisme masih kuat bertahan di Bumi Indonesia. Kalaupun pohon demokrasi kelihatannya tumbuh besar, di sana banyak ulat-ulat yang menggerogoti batang tubuhnya, dahan, daun, dan buahnya.

Padahal, tidak mungkin kita kembali ke era kesultanan atau pun dinasti. Tidak juga faham kekhalifahan.

Dalam situasi yang belum mapan ini, sesungguhnya menjadi pejabat negara itu merupakan peluang besar untuk bisa mengabdi membangun bangsa dan melayani rakyat. Mereka tak perlu pusing memikirkan fasilitas karena semuanya telah disediakan.

Dengan legalitas dan kewenangan yang dimiliki, seorang pejabat negara dengan mudah membuat perencanaan dan melaksanakan agenda pembangunan demi memajukan dan menyejahterakan rakyat.

Kalaupun kekurangan gagasan dan program, tinggal mengundang ilmuwan kampus dan kalangan profesional untuk membantu membuat roadmap dan mendampingi implementasinya. Anggaran pun sudah tersedia.

Betapa mudah dan mulianya pejabat negara kalau saja mau serius melayani rakyat. Konsultan dari dalam maupun luar negeri pun dengan mudah didapatkan.

Bagi mereka yang "kreatif", nakal, dan rakus, di samping dimanjakan oleh fasilitas dan pengawal, mereka bisa mendulang kekayaan tambahan di luar gaji dengan berbagai kiat amoral dan ilegal tetapi mereka juga tahu bagaimana agar lolos dari jeratan korupsi dan penjara.

Ada beberapa masalah yang selalu mengganjal kinerja para pejabat negara. Yang pertama adalah sulit melepaskan diri dari kepentingan kelompok pendukungnya.

Kadang kala seorang pejabat tidak memiliki kebebasan berkreasi karena terikat aturan yang ditetapkan oleh atasannya. Belum lagi mereka mesti mencari uang untuk mengembalikan modal yang telah dikeluarkan.

Belum lagi jika ada pihak-pihak yang memiliki kekuatan untuk mendiktenya untuk kepentingan bisnis dan kelompoknya.

Jadi, yang namanya korupsi kadang dimulai dengan korupsi kebijakan. Undang-Undang dan peraturannya diubah lebih dahulu sebagai payung pelindung agar korupsinya menjadi legal, meskipun secara moral busuk.

Kondisi semacam ini yang kadang membuat kecewa dan frustasi para guru praktisi pendidikan.

Para guru dan dosen telah mendidik dan memberikan bekal bagi anak-anak asuhnya, namun begitu tamat dan masuk ke dunia politik dan birokrasi berbagai teori yang diajarkan jadi berantakan tidak jalan.

Bahkan, ditengarai ada beberapa dosen favorit selagi di kampus, tetapi lama-lama terlihat berubah menjadi pribadi yang lain setelah masuk jajaran birokrasi pemerintah.

Pemerintahan yang sakit dan melupakan rakyat sebagai ibunya ini mengingatkan saya pada dongeng Malin Kundang. Setelah besar dan kaya justru sang anak menyakiti hati ibu kandungnya, bukannya bangga lalu merawatnya dengan baik dan penuh cinta kasih.

Apakah pemerintah yang ada sekarang ini mirip Malinkundang? Semoga tidak begitu. Kita semua tentu takut kutukan ibu kandung yang membuat Malinkundang berubah jadi batu, menangis menyesali tindakannya yang sombong dan durhaka.

https://nasional.kompas.com/read/2024/03/14/04010011/pergeseran-makna-rakyat-dan-fenomena-malin-kundang

Terkini Lainnya

Prabowo Mengaku Diuntungkan 'Efek Jokowi' dalam Menangkan Pilpres

Prabowo Mengaku Diuntungkan "Efek Jokowi" dalam Menangkan Pilpres

Nasional
Bantah Menang Pilpres Akibat Bansos, Prabowo: Tuduhan Kosong

Bantah Menang Pilpres Akibat Bansos, Prabowo: Tuduhan Kosong

Nasional
[POPULER NASIONAL] Reaksi Usai Prabowo Tak Mau Pemerintahannya Diganggu | Auditor BPK Minta 'Uang Pelicin' ke Kementan

[POPULER NASIONAL] Reaksi Usai Prabowo Tak Mau Pemerintahannya Diganggu | Auditor BPK Minta "Uang Pelicin" ke Kementan

Nasional
Sejarah Hari Buku Nasional

Sejarah Hari Buku Nasional

Nasional
Tanggal 15 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 15 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
UPDATE BNPB: 19 Orang Meninggal akibat Banjir Bandang di Agam Sumbar

UPDATE BNPB: 19 Orang Meninggal akibat Banjir Bandang di Agam Sumbar

Nasional
KNKT Investigasi Kecelakaan Bus Rombongan Siswa di Subang, Fokus pada Kelayakan Kendaraan

KNKT Investigasi Kecelakaan Bus Rombongan Siswa di Subang, Fokus pada Kelayakan Kendaraan

Nasional
Partai Buruh Berniat Gugat Aturan Usung Calon Kepala Daerah ke MK

Partai Buruh Berniat Gugat Aturan Usung Calon Kepala Daerah ke MK

Nasional
Cerita Sulitnya Jadi Ketua KPK, Agus Rahardjo: Penyidik Tunduk ke Kapolri, Kejaksaan, Sampai BIN

Cerita Sulitnya Jadi Ketua KPK, Agus Rahardjo: Penyidik Tunduk ke Kapolri, Kejaksaan, Sampai BIN

Nasional
Jemaah Haji Mulai Diberangkatkan, Fahira Idris: Semoga Sehat, Selamat, dan Mabrur

Jemaah Haji Mulai Diberangkatkan, Fahira Idris: Semoga Sehat, Selamat, dan Mabrur

Nasional
Jemaah Haji Gelombang Pertama Tiba di Madinah, Disambut Meriah

Jemaah Haji Gelombang Pertama Tiba di Madinah, Disambut Meriah

Nasional
Jokowi Diminta Tak Cawe-cawe Pemilihan Capim KPK

Jokowi Diminta Tak Cawe-cawe Pemilihan Capim KPK

Nasional
PBNU: Pratik Haji Ilegal Rampas Hak Kenyamanan Jemaah

PBNU: Pratik Haji Ilegal Rampas Hak Kenyamanan Jemaah

Nasional
Prabowo Disebut Bisa Kena Getah jika Pansel Capim KPK Bentukan Jokowi Buruk

Prabowo Disebut Bisa Kena Getah jika Pansel Capim KPK Bentukan Jokowi Buruk

Nasional
Gerindra Dorong Penyederhanaan Demokrasi Indonesia: Rakyat Tak Harus Berhadapan dengan TPS

Gerindra Dorong Penyederhanaan Demokrasi Indonesia: Rakyat Tak Harus Berhadapan dengan TPS

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke