Budaya feodalisme masih kuat bertahan di Bumi Indonesia. Kalaupun pohon demokrasi kelihatannya tumbuh besar, di sana banyak ulat-ulat yang menggerogoti batang tubuhnya, dahan, daun, dan buahnya.
Padahal, tidak mungkin kita kembali ke era kesultanan atau pun dinasti. Tidak juga faham kekhalifahan.
Dalam situasi yang belum mapan ini, sesungguhnya menjadi pejabat negara itu merupakan peluang besar untuk bisa mengabdi membangun bangsa dan melayani rakyat. Mereka tak perlu pusing memikirkan fasilitas karena semuanya telah disediakan.
Dengan legalitas dan kewenangan yang dimiliki, seorang pejabat negara dengan mudah membuat perencanaan dan melaksanakan agenda pembangunan demi memajukan dan menyejahterakan rakyat.
Kalaupun kekurangan gagasan dan program, tinggal mengundang ilmuwan kampus dan kalangan profesional untuk membantu membuat roadmap dan mendampingi implementasinya. Anggaran pun sudah tersedia.
Betapa mudah dan mulianya pejabat negara kalau saja mau serius melayani rakyat. Konsultan dari dalam maupun luar negeri pun dengan mudah didapatkan.
Bagi mereka yang "kreatif", nakal, dan rakus, di samping dimanjakan oleh fasilitas dan pengawal, mereka bisa mendulang kekayaan tambahan di luar gaji dengan berbagai kiat amoral dan ilegal tetapi mereka juga tahu bagaimana agar lolos dari jeratan korupsi dan penjara.
Ada beberapa masalah yang selalu mengganjal kinerja para pejabat negara. Yang pertama adalah sulit melepaskan diri dari kepentingan kelompok pendukungnya.
Kadang kala seorang pejabat tidak memiliki kebebasan berkreasi karena terikat aturan yang ditetapkan oleh atasannya. Belum lagi mereka mesti mencari uang untuk mengembalikan modal yang telah dikeluarkan.
Belum lagi jika ada pihak-pihak yang memiliki kekuatan untuk mendiktenya untuk kepentingan bisnis dan kelompoknya.
Jadi, yang namanya korupsi kadang dimulai dengan korupsi kebijakan. Undang-Undang dan peraturannya diubah lebih dahulu sebagai payung pelindung agar korupsinya menjadi legal, meskipun secara moral busuk.
Kondisi semacam ini yang kadang membuat kecewa dan frustasi para guru praktisi pendidikan.
Para guru dan dosen telah mendidik dan memberikan bekal bagi anak-anak asuhnya, namun begitu tamat dan masuk ke dunia politik dan birokrasi berbagai teori yang diajarkan jadi berantakan tidak jalan.
Bahkan, ditengarai ada beberapa dosen favorit selagi di kampus, tetapi lama-lama terlihat berubah menjadi pribadi yang lain setelah masuk jajaran birokrasi pemerintah.
Pemerintahan yang sakit dan melupakan rakyat sebagai ibunya ini mengingatkan saya pada dongeng Malin Kundang. Setelah besar dan kaya justru sang anak menyakiti hati ibu kandungnya, bukannya bangga lalu merawatnya dengan baik dan penuh cinta kasih.
Apakah pemerintah yang ada sekarang ini mirip Malinkundang? Semoga tidak begitu. Kita semua tentu takut kutukan ibu kandung yang membuat Malinkundang berubah jadi batu, menangis menyesali tindakannya yang sombong dan durhaka.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.