Dan di situlah makna strategis suara 40 persenan yang diraih oleh Anies dan Ganjar, jika secara sadar dikonversikan ke dalam gerakan oposisi konstitusional.
Toh dalam lima tahun terakhir kita telah mendapatkan banyak pelajaran penting, terutama terkait dengan minimnya oposisi yang ternyata telah menyebabkan keleluasaan kekuasaan yang berlebihan.
Keleluasaan kekuasaan tersebut telah kita saksikan sepak terjangnya. Permainan kekuasaan nyaris saja membuat hukum tidak bekerja, bahkan mati suri.
Untuk itu, di bulan yang suci ini, semua pihak di dalam pelataran politik nasional, harus serius melakukan instrospeksi diri dan segera menyadari posisi politik masing-masing.
Tak ada kewajiban dari pihak yang kalah untuk bergabung membentuk koalisi besar pemerintahan, karena akan semakin menyakiti tubuh demokrasi nasional kita.
Pemenang harus rela menerima oposisi sebagai bagian dari penjagaan demokrasi nasional. Jangan dirayu dan diiming-imingi.
Dan pihak yang kalah harus berani mengambil sikap oposisionis untuk memastikan bahwa pihak yang menang tidak mengamputasi hukum di satu sisi dan memupuk bibit tirani di sisi lain untuk waktu lima tahun ke depan.
Dengan kata lain, kedua pihak harus sama-sama menginsyafi perannya masing-masing pascapemilihan. Pemenang menjadi penguasa, pihak yang kalah menjadi oposisi.
Keduanya sama-sama baik dan mulia, selama dilakukan dengan niat tulus untuk menjaga demokrasi Indonesia dari bayang-banyang tirani dan otoritarianisme yang pernah menjangkiti negeri ini cukup lama di masa lalu. Dan begitulah seharusnya persaudaraan dalam demokrasi dijalankan. Semoga!
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.