Jika perlawanan memang harus berlanjut, maka mari lanjutkan dengan cara yang etis dan konstitusional. Menjadi oposisi bukanlah pilihan politik yang buruk. Justru oposisi harus menjadi penentu kualitas demokrasi kita di negeri ini untuk lima tahun mendatang.
Empat puluhan persen suara yang memilih Ganjar Pranowo dan Anies Baswedan adalah angka yang signifikan untuk mengoposisi kedigdayaan pemerintahan Prabowo Subianto -Gibran Rakabuming Raka pasca-Oktober 2024 nanti.
Semua suara tersebut telah dipercayakan pemiliknya untuk Ganjar dan Anies, meskipun keduanya belum beruntung dalam memenangkan kontestasi kali ini.
Artinya, semua suara tersebut adalah suara yang tidak mendukung Prabowo-Gibran. Karena itu, tidak mengompromikan suara tersebut dengan pemenang alias mengonversinya ke dalam kekuatan oposisi adalah jalan terbaik dan paling tepat kalau tidak dikatakan bijaksana.
Boleh jadi sebagian partai yang mendukung Ganjar dan Anies berpaling kepada pemerintah. Namun 40 persenan suara yang memilih Ganjar dan Anies adalah pemilih Ganjar dan Anies yang tak salah jika dilabuhkan pada opsi oposisi.
Dengan jumlah suara yang signifikan tersebut, jika dikonversikan ke dalam gerakan oposisi publik, sudah lebih dari cukup untuk memastikan bahwa hukum akan berjalan baik di negeri ini agar tidak terjadi tirani. Dan memang itulah urgensinya oposisi.
Pemenang kontestasi semestinya menerima kemungkinan lahirnya oposisi besar. Tidak perlu jumawa atas kemenangan tempo hari, lalu mengobral kavling-kavling kekuasaan kepada lawan politik agar terbentuk koalisi raksasa. Karena ambisi koalisi besar mengandung celah tirani di dalamnya.
Pemenang justru harus menyisakan celah yang cukup lega untuk oposisi berlaga sebagai bukti bahwa Prabowo-Gibran memang tidak sedang membuahi bibit-bibit tirani dan otoritarianisme yang acapkali dikhawatirkan publik.
Prabowo-Gibran harus merangkul oposisi sebagai bagian penting dalam relasi rivalitas konstitusional, bukan sebagai musuh rakyat.
Pengakuan atas signifikansi oposisi adalah bentuk kedewasaan berpolitik dan berdemokrasi. Jadi oposisi bukan "gaya-gayaan" politik. Oposisi bukanlah bentuk politik kebarat-baratan. Karena itu, tak perlu dipertentangkan dengan semangat musyawarah mufakat ala Indonesia.
Oposisi juga bagian dari politik kekeluargaan, di mana perbedaan dirajut dengan etika kekeluargaan, tanpa harus saling menjatuhkan dan mengecilkan peran masing-masing. Tak ada anggota keluarga yang benar-benar sama, sekalipun lahir dari rahim yang sama.
Semua anggota keluarga menerima nasibnya masing-masing dan mengemban tanggung jawab yang tidak sama. Jadi jangan sampai atas nama kekeluargaan, keseragaman harus dipaksakan.
Justru dengan menyamakan kekeluargaan dengan keseragaman adalah kesalahan fatal dalam memaknai nilai kekeluargaan.
Artinya, demokrasi dengan semangat kekeluargaan tidak mesti mengharamkan oposisi. Tali persaudaraan memang harus dijaga agar keluarga besar bernama Indonesia tetap berjaya. Di dalam Indonesia itu sendiri, terdapat falsafah historis yang berbunyi Bhinneka Tunggal Ika.
Nah, dalam konteks itulah oposisi harus ada. Oposisi adalah bagian dari Bhinneka Tunggal Ika, yang bertujuan menguatkan kekeluargaan Indonesia dan menjaga eksistensi negara bangsa Indonesia yang beraneka ragam.