Belum lagi, adanya dugaan intimidasi kepada saksi-saksi Ganjar-Mahfud hingga mobilisasi unsur negara untuk mengarahkan kepada kepala daerah guna memenangkan pasangan calon nomor urut tertentu.
"Nah, ini dugaan-dugaan pelanggaran yang tidak terjadi pada hari H tabulasi suara, tetapi merupakan bagian dari kecurangan dari proses panjang pemilu. Nah itu yang jadi problem," jelasnya.
"Jadi yang kami soroti memang adalah proses itu. Kalau penggelembungan suara dan lain sebagainya, bisa jadi memang ada berbagai dinamika itu, tetapi itu bukan hal baru, di pemilu sebelumnya kan kecurangan-kecurangan itu juga pernah terjadi," imbuh dia.
Kecurangan sebelum pemungutan suara
Hal senada diungkapkan Pakar Hukum Tata Negara Universitas Andalas, Feri Amsari.
Ia menilai, kecurangan justru jelas terlihat nyata dengan mempertahankan kecurangan yang dilakukan sebelum hari pemungutan suara.
Kawalpemilu dinilai tak memperlihatkan rangkaian kecurangan yang dilakukan oleh peserta pilpres, mulai dari pengerahan massa hingga etika yang dilanggar saat pendaftaran berlangsung.
"Kecurangan itu kan bisa dalam satu rangkaian proses. Pra hari-H (pencoblosan), hari-H pemungutan dan pasca, berupa upaya melegitimasi kecurangan itu," katanya.
Baca juga: Parpol Saling Tunggu, Wacana Hak Angket Kecurangan Pilpres Digembosi?
Feri mengatakan, penilaian kecurangan pemilu tak bisa dilihat dari hasil setelah pencoblosan semata.
Proses penyelenggaraan pemilu yang buruk juga harus menjadi pertimbangan, apakah pemilu itu dilangsungkan secara curang atau tidak.
"Saya tidak bicara di hilirnya saja, di hulunya juga gitu. Nah yang perlu saya jelaskan bahwa untuk menjelaskan kepada Mahkamah Konstitusi bahwa proses yang buruk menghasilkan hasil yang buruk tentu harus dijelaskan sebagai akibat proses yang buruk," tandasnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.