Selanjutnya, benturan keras dari "Gerungisme" atau tekanan intelektual dari seorang Rocky Gerung di ruang publik yang acapkali memperlihatkan ketidakbergunaan ijazah dari institusi pendidikan juga semakin menyudutkan posisi intelektual di kancah publik.
Tentu aspirasi dan inspirasi yang dihadirkan Rocky Gerung tak ada yang salah, karena kemampuan berpikir kritis tentu jauh lebih substansial ketimbang ijazah, meskipun urusannya tentu tidak sesederhana itu jika dikaitkan dengan relasi antara ijazah dengan potensi lapangan pekerjaan dan lainnya, misalnya.
Plus tak lupa, karena kehadiran beberapa kandidat capres dan cawapres yang berlatar akademik, yang akhirnya hanya direndahkan oleh dua kata "omon-omon" oleh kandidat lain, dan langsung disambut tepuk tangan oleh pendukunganya, juga menjadi pemicu semakin redupnya legitimasi para pakar dan ahli.
Dua kandidat akademis ini mau tak mau, diakui atau tidak, ikut memperburuk posisi pakar dan intelektual di hadapan publik nasional.
Jadi apakah perlawanan-perlawanan politik yang datang dari aktor-aktor intelektual non politik belakangan, baik dari kampus maupun dari komunitas aktivis, akan dianggap sebagai buah dari tirany of merit oleh publik, atau sebagai suara yang murni intelektual netral, mari kita tunggu saja cerita-cerita lainnya.
Asumsi saya, penurunan kredibiltas para pakar memang sedang terjadi, sehingga pengaruhnya tidak terlalu signifikan pada perubahan pilihan politik di laga pilpres 14 Februari lalu.
Bahkan sepanjang pengamatan saya, gerakan semacam itu selalu berada di pinggir lapangan. Mulai dari kampanye antipolitisi busuk era Faisal Basri, atau Sexy Killer di tahun 2019, pengaruhnya ke publik sangat minor, sekalipun filmnya mendapat penghargaan dan isinya dianggap sangat bagus.
Apa yang terjadi kemudian? Dalam buku revisiannya di tahun 2022 lalu, "Democracy’s Discontent", pakar politik Michael Sandel mengatakan bahwa buah dari kekecewaan institusional atas demokrasi sejak berakhirnya perang dingin tidak saja melahirkan kekecewaan kepada para pakar dan ahli, tapi juga telah melahirkan gelombang "democracy's discontent" yang memuncak di era kemenangan Donald Trump.
Jadi demokrasi kita kali ini juga berpeluang dimeriahkan oleh masyarakat yang masuk kategori "democracy's discontent" ini.
Ujungnya, pemenangnya bukanlah tokoh yang dianggap ideal oleh para intelektual, tapi tokoh yang lebih berhasil menangkap jiwa zaman dan memahami sisi non rasional pemilih, lalu menurunkannya ke dalam strategi-strategi sederhana, tapi seirama dengan ekspektasi pemilih.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.