Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Jannus TH Siahaan
Doktor Sosiologi

Doktor Sosiologi dari Universitas Padjadjaran. Pengamat sosial dan kebijakan publik. Peneliti di Indonesian Initiative for Sustainable Mining (IISM). Pernah berprofesi sebagai Wartawan dan bekerja di industri pertambangan.

Senjakala Kepakaran dan Demokrasi Kita

Kompas.com - 28/02/2024, 05:50 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

TAHUN 2020, filosof kenamaan dari Harvard University, Michael Sandel, menerbitkan buku berjudul "The Tyranny of Merit: What's Become of the Common Good".

Buku tersebut membahas tentang fenomena "backlash" dan pembalikan arah perilaku pemilih Amerika di pemilihan umum 2016 lalu, yang memenangkan Donald Trump di satu sisi dan perubahan sistematis dalam cara pandang publik Amerika terhadap mekanisme meritokrasi yang terjadi di dunia pendidikan di sisi lain.

Komoditifikasi pendidikan yang berlebihan pada sistem pendidikan Amerika, di mana sistem sumbangan sangat menentukan dalam proses rekruitmen mahasiswa pada perguruan tinggi kelas atas, mulai dari Yale University sampai Harvard University (Ivy League), memicu cara pandang sinis kepada lulusan-lulusan perguruan tinggi terbaik Amerika tersebut sekaligus kepada para intelektual terkait dengan institusi pendidikan yang ada di Amerika.

Sinisme tersebut terkait langsung dengan kondisi ketimpangan ekonomi yang sudah berlangsung lama di negeri Paman Sam, di mana salah satu sebabnya dipandang berasal dari disfungsionalitas para pakar dan intelektual.

Semakin kaya seseorang, semakin besar peluangnya mendapatkan pendidikan bagus, yang kemudian semakin memperbesar kesempatannya untuk mendapatkan pekerjaan di sektor-sektor andalan di Amerika, mulai dari perusahaan-perusahaan bonafid di Wall Street, sampai pada perusahaan farmasi kelas kakap atau Think tank berkaliber internasional.

Latar ketimpangan ekonomi yang membentuk sistem meritokrasi di Amerika itu kemudian berimbas pada cara pandang publik kepada para pakar dan ahli.

Para pakar dan ahli dipandang sebagai bagian dari sistem korup yang dikuasai oleh oligarki dan elite-elite ekonomi politik yang bercokol di Wall Street dan Gedung Putih. Sistem rekruitmennya dinilai tidak berbeda dengan sistem rekruitmen elitis dunia perguruan tinggi kenamaan di negeri Paman Sam itu.

Fenemena memudarnya peran kepakaran ini bertemu dengan era digital, di mana publik akhirnya semakin mendapatkan tempat untuk mengekspresikan aspirasinya secara tak berbatas di dunia baru (dunia maya) sekaligus bertumbuhnya banyak sumber informasi alternatif yang tidak lagi bergantung kepada kehadiran para pakar.

Sementara itu, sayangnya para pakar dan ahli semakin hari semakin kurang sensitif dalam menghormati eksistensi sisi non rasional dari masyarakat, seperti adanya rasa cinta, favoritisme, fanatisme, kebencian, keberuntungan, dan sejenisnya.

Walhasil, tahun 2016, “kepongahan” para intelektual pendukung Hillary Clinton, yang kerap menyajikan data, fakta, dan rasionalitas kelas elitis selama masa kampanye, lalu melabeli para pendukung Donald Trump dengan label bodoh, akhirnya gagal memahami realitas emosional pemilih Amerika.

Cara berpikir sederhana yang ditawarkan Donald Trump dan Steve Banon ternyata jauh lebih menyentuh hati rakyat Amerika, meskipun berkali-kali kepala mereka disapa oleh sajian-sajian intelektual dari tim kampanye Hillary.

Pertama, beberapa kata tentang patriotisme dan urgensi keadidayaan Amerika jauh lebih beresonansi dengan pemilih, ketimbang data dan fakta “njilimet” dari para pakar tentang masa depan Amerika yang lebih baik.

Kedua, pendekatan sederhana tersebut berpadu dengan keberuntungan Donald Trump berkat penerapan sistem electoral college. Mengalami kekalahan pada ranah popular vote tiga jutaan suara, tapi ternyata menang di electoral college.

Itulah keberuntungan politik, yang tak terhitung oleh kehebatan rasionalitas tim Hillary.

Ketiga, yang paling penting, adalah jiwa zaman yang lahir di era digital, di mana legitimasi para ahli dan pakar sudah dianggap basi dan memudar karena dinilai sebagai hasil pikiran para intelektual kampus yang dibuahi melalui sistem meritokrasi elitis.

Risiko dari perubahan perilaku tersebut, pada pemilihan tahun 2020, sebagian besar para pendukung Donald Trump sampai hari ini masih meyakini bahwa pemilihan umum telah dicurangi.

Lantas bagaimana dengan Indonesia belakangan, terutama setelah tiga pakar hukum tata negara mengungkapkan temuannya dalam film dokumenter, Dirty Vote, yang sempat ramai dibicarakan?

Setidaknya, ada kontradiksi yang melatari ketiga pakar tersebut, di mana sebelumnya ketiganya adalah "endorser" Jokowi di awal kemunculan Jokowi di pentas nasional, lalu saat ini justru berusaha merongrong Jokowi.

Jadi secara historis, ketiganya terjebak ke dalam perangkap historis, sebagaimana yang dialami oleh Eep Saefulloh Fatah.

Terlepas apakah ketiganya bermotif politik atau tidak, atau ketiganya terafiliasi dengan salah satu paslon atau tidak, yang jelas publik akan berpotensi memaknai sepak terjang mereka sebagai bentuk pembalasan kepada Jokowi, bukan sebagai bentuk penyelamatan demokrasi.

Artinya, yang tetap mendukung Jokowi sampai saat ini akan semakin membela Jokowi, karena dianggap Jokowi sedang diserang. Walhasil, yang didapat hanya pemilih yang memang sudah gerah dengan Jokowi di satu sisi dan boleh jadi sebagian dari undecided voters di sisi lain.

Jadi, meskipun sejarah keterikatan politik tersebut tidak terkait dengan kredibilitas dan kompetensi intelektual mereka, namun pemisahan cara pandang seperti itu terkadang hanya bisa dilakukan oleh pendengar dan penonton yang netral dan terdidik, alias bukan publik secara umum.

Sementara bagi masyarakat pemilih pada umumnya, pembelahannya tidak akan terlalu berubah secara signifikan. Hanya akan menguatkan kantong pemilih yang telah terbentuk sebelumnya.

Sehingga, masalah kontradiksi tersebut, menurut hemat saya, sangat berpotensi untuk mengurangi magnitud dari film tersebut dalam memengaruhi pemilih.

Apalagi secara umum, apa yang terjadi di Amerika juga sebenarnya juga terjadi di Indonesia. Kepakaran sudah mulai dipandang secara sinis, karena dalam tataran praktis, tak sedikit para pakar nasional yang memang terlibat di dalam politik praktis, atau setidaknya terlibat secara tidak langsung di dalam dunia politik, yang membuat posisi mereka tak lagi dipandang netral.

Walhasil, apa yang mereka tunjukkan dan katakan akan selalu dicarikan keterkaitannya dengan aktor-aktor politik tertentu, sekalipun boleh jadi tidak demikian adanya.

Selain itu, maraknya buzzer atau pendengung sejak 2014 lalu, juga berperan besar dalam melemahkan legitimasi ucapan para pakar.

Para buzzer yang raison d'etre-nya memang untuk kepentingan salah satu kubu politik acapkali mendelegitimasi ucapan para pakar karena dianggap bertentangan dengan kepentingan politik para sponsor buzzer tersebut.

Sementara di ruang publik, para buzzer cenderung memiliki lebih banyak "traction" ketimbang para pakar dan ahli, karena mereka memiliki lebih banyak follower.

Walhasil, para pakar bukan saja kehilangan kredibilitasnya, tapi juga kehilangan audience, yang ujungnya juga sama, yakni semakin rontoknya kredibilitas pakar dan ahli itu.

Selanjutnya, benturan keras dari "Gerungisme" atau tekanan intelektual dari seorang Rocky Gerung di ruang publik yang acapkali memperlihatkan ketidakbergunaan ijazah dari institusi pendidikan juga semakin menyudutkan posisi intelektual di kancah publik.

Tentu aspirasi dan inspirasi yang dihadirkan Rocky Gerung tak ada yang salah, karena kemampuan berpikir kritis tentu jauh lebih substansial ketimbang ijazah, meskipun urusannya tentu tidak sesederhana itu jika dikaitkan dengan relasi antara ijazah dengan potensi lapangan pekerjaan dan lainnya, misalnya.

Plus tak lupa, karena kehadiran beberapa kandidat capres dan cawapres yang berlatar akademik, yang akhirnya hanya direndahkan oleh dua kata "omon-omon" oleh kandidat lain, dan langsung disambut tepuk tangan oleh pendukunganya, juga menjadi pemicu semakin redupnya legitimasi para pakar dan ahli.

Dua kandidat akademis ini mau tak mau, diakui atau tidak, ikut memperburuk posisi pakar dan intelektual di hadapan publik nasional.

Jadi apakah perlawanan-perlawanan politik yang datang dari aktor-aktor intelektual non politik belakangan, baik dari kampus maupun dari komunitas aktivis, akan dianggap sebagai buah dari tirany of merit oleh publik, atau sebagai suara yang murni intelektual netral, mari kita tunggu saja cerita-cerita lainnya.

Asumsi saya, penurunan kredibiltas para pakar memang sedang terjadi, sehingga pengaruhnya tidak terlalu signifikan pada perubahan pilihan politik di laga pilpres 14 Februari lalu.

Bahkan sepanjang pengamatan saya, gerakan semacam itu selalu berada di pinggir lapangan. Mulai dari kampanye antipolitisi busuk era Faisal Basri, atau Sexy Killer di tahun 2019, pengaruhnya ke publik sangat minor, sekalipun filmnya mendapat penghargaan dan isinya dianggap sangat bagus.

Apa yang terjadi kemudian? Dalam buku revisiannya di tahun 2022 lalu, "Democracy’s Discontent", pakar politik Michael Sandel mengatakan bahwa buah dari kekecewaan institusional atas demokrasi sejak berakhirnya perang dingin tidak saja melahirkan kekecewaan kepada para pakar dan ahli, tapi juga telah melahirkan gelombang "democracy's discontent" yang memuncak di era kemenangan Donald Trump.

Jadi demokrasi kita kali ini juga berpeluang dimeriahkan oleh masyarakat yang masuk kategori "democracy's discontent" ini.

Ujungnya, pemenangnya bukanlah tokoh yang dianggap ideal oleh para intelektual, tapi tokoh yang lebih berhasil menangkap jiwa zaman dan memahami sisi non rasional pemilih, lalu menurunkannya ke dalam strategi-strategi sederhana, tapi seirama dengan ekspektasi pemilih.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

KPK Ancam Pidanakan Pihak yang Halangi Penyidikan TPPU Gubernur Malut

KPK Ancam Pidanakan Pihak yang Halangi Penyidikan TPPU Gubernur Malut

Nasional
KPK Sita Aset Gubernur Malut Rp 15 Miliar dari Nilai TPPU Rp 100 Miliar Lebih

KPK Sita Aset Gubernur Malut Rp 15 Miliar dari Nilai TPPU Rp 100 Miliar Lebih

Nasional
Mantu Jokowi Akan Maju Pilkada Sumut, PDI-P Singgung Jangan Ada 'Abuse of Power'

Mantu Jokowi Akan Maju Pilkada Sumut, PDI-P Singgung Jangan Ada "Abuse of Power"

Nasional
Menantu Jokowi Bakal Maju Pilkada Sumut, PDI-P: Jangan Terjadi Intervensi

Menantu Jokowi Bakal Maju Pilkada Sumut, PDI-P: Jangan Terjadi Intervensi

Nasional
Isu Tambah Kementerian dan Bayang-bayang Penambahan Beban Anggaran

Isu Tambah Kementerian dan Bayang-bayang Penambahan Beban Anggaran

Nasional
Eks Wakil Ketua DPR RI Azis Syamsuddin Mangkir dari Panggilan KPK

Eks Wakil Ketua DPR RI Azis Syamsuddin Mangkir dari Panggilan KPK

Nasional
Kementan Era SYL Diduga Beri Auditor BPK Rp 5 Miliar demi Opini WTP, Anggota DPR: Memalukan

Kementan Era SYL Diduga Beri Auditor BPK Rp 5 Miliar demi Opini WTP, Anggota DPR: Memalukan

Nasional
Sekjen DPR Indra Iskandar Minta KPK Tunda Pemeriksaan

Sekjen DPR Indra Iskandar Minta KPK Tunda Pemeriksaan

Nasional
Pansel Capim KPK Masih Digodok, Komposisinya 5 Unsur Pemerintah dan 4 Wakil Masyarakat

Pansel Capim KPK Masih Digodok, Komposisinya 5 Unsur Pemerintah dan 4 Wakil Masyarakat

Nasional
Bukan Pengurus Pusat PDI-P, Ganjar Disarankan Bikin Ormas agar Tetap Eksis di Politik

Bukan Pengurus Pusat PDI-P, Ganjar Disarankan Bikin Ormas agar Tetap Eksis di Politik

Nasional
Korlantas Polri Kerahkan 1.530 Personel BKO untuk Agenda World Water Forum Bali

Korlantas Polri Kerahkan 1.530 Personel BKO untuk Agenda World Water Forum Bali

Nasional
Program Deradikalisasi BNPT Diapresiasi Selandia Baru

Program Deradikalisasi BNPT Diapresiasi Selandia Baru

Nasional
Kirim Surat Tilang Lewat WA Disetop Sementara, Kembali Pakai Pos

Kirim Surat Tilang Lewat WA Disetop Sementara, Kembali Pakai Pos

Nasional
Polri Setop Sementara Kirim Surat Tilang Lewat WhatsApp, Bakal Evaluasi Lebih Dulu

Polri Setop Sementara Kirim Surat Tilang Lewat WhatsApp, Bakal Evaluasi Lebih Dulu

Nasional
Selain Eko Patrio, PAN Juga Dorong Yandri Susanto Jadi Menteri Kabinet Prabowo-Gibran

Selain Eko Patrio, PAN Juga Dorong Yandri Susanto Jadi Menteri Kabinet Prabowo-Gibran

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com